Kamis, 15 Desember 2011

KAJIAN ANALISIS TAWASSUL


BAB I
PENDAHULUAH
A.                     Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama yang  di bawa oleh nabi Muhammad saw setelah sekian lama kehidupan umat tidak memiliki seseorang yang menjadi panutan dan suri tauladan sehingga pada zaman itu kehidupan umat mulai berjalan sesuai dengan apa yang di kehendakinya masing-masing. Pada zaman ini manusia berada dikurun yang di sebut dengan zaman jahiliyah, kata jahiliyah berasal dari bahasa arab yaitu katu “Jahilun” yang berarti orang yang bodoh kemudian kata ini di tambah dengan ya nisbat yang menjadikan lafadz tersebut berarti bangsa kebodohan.
Walaupun demikian bukan berarti kehidupan orang-orang di masa itu adalah orang-orang yang bodoh melainkan kurang adanya budi pekerti dan akhlak yang baik yang dimiliki umat oleh karenanya umat di kala itu melakukan apa saja yang dikehendaki tanpa ada penalaran secara akal persis seperti yang di lakukan oleh orang yang bodoh oleh karenanya zaman itu di namakan zaman jahiliyah.
Kemudian di utuslah nabi Muhammad saw dengan membawa ajaran agama islam dari situlah kemudian perlahan lahan keadaan umat mulai memeluk ajaran agama islam yang di bawa oleh nabi Muhammad saw.  Hal ini sesuai apa yang telah di sebutkan dalam al Qur’an bahwa di utusnya nabi Muhammad saw ke dunia ini menjadi rohmat bagi alam semesta sebagaimana ayat di bawah ini :
وماارسلناك الا رحمة للعالمين
“Dan kami tidak mengutus engkau ( Muhammad ) melainkan untuk ( menjadi ) rohamat bagi seluruh alam.” ( Qs. Al anbiya : 107 )[1]
Selain itu keberadaan nabi Muhammad juga sebagai seri tuladan bagi seluruh umatnya sebagaimana di sebutkan dalam Al Qur’an Surat Al Ahzab ayat 21 :
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ  
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.”(Q.S. Al-Ahzab:21)[2]
 Akan tetapi dengan beberapa ayat di atas manusia yang hidup di dunia tentu belum puas dengan kehadiran islam yang di bawa oleh rosulullah saw sehingga tak sedikit orang muslim yang memiliki kefahaman yang dangkal dalam agama tetapi memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi seorang pemimpin sehingga terkadang orang tersebut membuat ajaran yang baru yang terkadang sering mempermasalahkan tradisi islam yang sudah ada yang tidak sefaham dengan dirinya.
Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi banyak ajaran agama islam yang sering mengatakan kata-kata bid’ah seperti dalam mmasalah tawassul. Padahal sebelumnya Tidak satupun orang   muslim yang menentang di perbolehkanya tawassul.
Bertawasul  merupakan cara berdoa dan  satu diantara pintu-pintu menghadap Alloh SWT dengan menggunakan perantara (wasilah )  tujuan  hakiki  tawasul adalah Alloh dan yang dijadikan tawasul adalah hanya perantara untuk mendekatkan diri kepada Alloh. Orang bertawasul tidak lain karena mencintai apa yang di jadikan tawasul, di  samping percaya bahwa  Alloh swt juga mencintai apa yang di jadikan tawasul itu.
Secara semantik tawasul merupakan mengambil sesuatu perantara yang dapat di jadikan perantara untuk mendekatkan diri kepada Alloh SWT guna memperoleh atau memperoleh sesuatu yang diharapkan dari Nya. Secara garis besar bertawasul dapat dilakukan dengan beberapa cara baik berupa  tindakan-tindakan,  melalui doa,  melalui sifat-sifat dan  nama-nama  Alloh (Asma’ul khusna ) , dengan syafaat nabi muhammad saw, atau melalui cara yang alin seperti panggilan kepada orang-orang yang alim.
Sebenarnya ajaran  tawasul sudah ada sejak manusia pertama yaitu nabiyulloh Adam di mana ketika mau mendekati siti Hawa tidak di perkenankan oleh Alloh sebelum sah menjadi istrinya. Dan ketika proses pernikahan antara nabi Adam dan Hawa yang dijadikan maharnya adalah sholawat kepada baginda rosul, walaupun Rosulullah  pada waktu itu belum lahir kedunia namun nur kenabianya sudah ada di lauh mahfud. Contoh lain ketika habil dan qobil di perintah untuk mendekatkan diri kepada Alloh, mereka berdua  mendekat kepada Alloh dengan hAsil pertanianya mAsing-mAsing. Dan mAsih banyak contoh yang lain. Ini membuktikan bahwa tawasul merupakan hal penting bagi kita sebagi orang awam.
Sebagai contoh yang mungkin bisa dicerna oleh akal pikiran kita, yaitu bagi seseorang yang ingin di terima untuk bekerja pada sebuah perusahaan dimana ia belum kenal sebelumnya, tapi dengan lantaran teman yang ada pada perusahaan tersebut maka di terimalah ia menjadi kariawan pada perusahan yang di tuju.
Dari latar belakang itulah  maka penulis merAsa perlu untuk mengkaji lebih dalam tentang bertawasul yaitu dengan judul “Kajian Analilis Bertawassul Dalam Hadist Shohih Muslim”
B.                     Alasan Pemilihan Judul
BerdAsarkan latar belang diatAs penulis tertarik untuk menulis risalah dengan judul “Kajian Analilis Bertawassul Dalam Hadist Shohih Muslim” dengan beberapa alAsan diantaranya :
1.      Banyak manusia yang salah memahami pengertian tawassul yang sebenarnya sehingga banyak orang yang sampai mengatakan haram bahkan sampai mengkafir-kafirkan seseorang yang bertawassul kepada selain Allah.
2.      Supaya jangan sampai diantara umat islam itu salah langkah dalam mendekatkan diri kepada Alloh.
3.      Agar umat islam mengetahui hukum bertawassul yang sebenarnya. Serta mempunyai dalil baik dari al-qur’an ataupun hadits tanpa mudah mengatakan kata-kata bid’ah bahkan haram dan kafir.

C.                     Pembatasan dan perumusan masalah
1.           Pembatasan masalah
Manusia merupakan makhluk yang sempurna sehingga manusia memiliki kewajiban kepada allah swt berupa beribadah baik diwaktu pagi maupun di waktu malam, disamping itu manusia juga termasuk yang lemah yang tidak dapat melakukan apapun kecuali dengan memohon pertolongan dari Allah SWT dengan berdo’a. Sebagi makhluk yang penuh dosa tentunya sangatlah hina apabila hendak memohon kepada allah tanpa adanya perantara oleh karena itu perlu adanya tawassul dengan rosulullah dan orang-orang alim dengan harapan permohonan seseorang mudah untuk terkabul. Selanjutnya merupakan suatu keharusan bagi penulis untuk membatasi pembahasan dalam risalah ini hanya pada ruang lingkup judul risalah saja.  Hal ini di karenakan untuk menghindari adanya pembahasan yang terlalu bertele-tele dan dapat menyebabkan bosan bagi para pembaca. Selanjutnya penulis akan mendefinisikan istilah dalam judul agar tidak menyebabkan kesalahfahaman dari materi yang akan di sampaikan.
a.       Kajian dan Analilis
Berasal dari kata kaji yang berarti pelajaran, mendapat akhiran (-an) yang kemudian berarti mempelajari (mendalami) sesuatu.[3] Kajian adalah mempelajari sesuatu secara mendalam. Sedangkan kata Analisis, menurut kamus besar bahasa indonesia adalah suatu penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya atau sabab musababnya.[4]


b.      Tawassul  
Dalam kamus Al Munawwir kata tawassul berAsal dari bahasa arab yaitu dari fiil madiوسل  yang berarti perantara.[5] Dengan demikian merupakan harapan setiap manusia ketika memohon dan berdo’a kepada Allah adalah diterima dan sampai do’anya kepada Allah.
2               Perumusan masalah
Dari uraian mengenai pemilihan judul dan pembahasan masalah diatas, maka muncul permasalahan yang dapat di rumuskan sebagai berikut :
a)      Apakah Yang dinamakan  Tawassul ?
b)      Bagaimana hukum bertawasul menurut hadist shohih muslim ?

D.                Tujuan dan Kontribusi Penulis
1.      Tujuan penulisan
Di latar belakangi oleh alAsan pemilihan judul diatAs maka tujuan penulisn risalaah ini adalah :
a)      Untuk Mengetahui apa yang dinamakan tawassul
b)      Untuk Mengetahui Hukum Bertawasul Menurut Hadist Shohih Muslim Tujuan Penulis

2.      Kontribusi Penulis
a.       Pribadi Penulis
      Sebagai wawasan dan bekal untuk mAsa depan setelah terjun di mAsyarakat agar dapat memberikan jawaban kepada orang-orang yang anti bahkan kurang setuju dengan adanya tawassul.
b.      MAsyarakat
      mengharapkan dapat memberikan perubahan kepada mayarakat luas setidaknya mereka  paham akan arti tawasul itu sendiri, dan mudah-mudahan dapat dimanfaatkan bagi yang lain setidaknya demi menjaga kelestarian sunah  itu sendiri sunah yang diumpamakan obat yang dapat memberikan pencerahan kepada hati dan setiap sunah memiliki rahAsia.[6]

E.                 Metodologi Penulisan
Untuk mencapai maksud dalam  risalah  ini dengan menggunakan stadi kepustakan yaitu dengan cara membaca dan memahami literatur-literatur yang berkaitan dengan judul yang menjadi pembahAsan .
1      Sumber Data
Sebagi langkah awal penulisan, sumber data dicari terlebih dahulu sebagai mana menurut sutrisno hadi dalam buku methodologi  reseach di uraikan yang mana hal ini melalui studi literature atau  library receach yaitu methode yang dilakukan dengan cara memilih buku-buku atau  literature yang berkaitan dengan risalah.
2        Pengumpulan materi
Methode pengumpulan data yang di gunakan adalah methoe observasi yaitu penelitian pengamatan yang di catat secara sistematis atau fenomena, fenomena yang telah di selidiki[7]. kemudian diadakan penyeleksian berdasarkan sumber-sumber yang berhubungan dengan tema rialah. 
1.        Analisis
Tujuan methode ini adalah  untuk memberikan pedapat atau pendangan terhadap data yang telah di seleksi, kemudin data-data tersebut di golongkan menjadi kualifikasi yang di uraikan pada pola pikir logis melalu pendekatan sebagi berikut:

a.       Induktif
yakni pengambilan kesimpulan, berdasarkan pada keadaan yang khusus untuk di perlakukan secara umum.[8] dengan tujuan  untuk mendapatkan  gambaran yang jelas dari data yang khusus kemudoian di jadikan kesimpulan umum’
b.      Deduktif
pengambilan kesimpulan dari keadaan yang   umum[9]
c.       Komparatif
methode ini di gunakan untuk menganalilis perbedaan perbedaan masalah yang terdapat diantara satu pendapat denagn pendapat yang lain dalam penelitian. Selanjutnya diambil dri satu kesimpulan denagn mengadakan perbandingan dari berbagai masalah, kemudin dimbil satu atau diadakan kompromi ntar masalah, selain itu juga menggunakan pendekatan historis.



E.        Sistematika Penyusunan
Untuk mempermudah dalam mempelajarai isi dari Risalah  ini, maka penulis menyusun urutan dalam sistematika yang terdiri dari lima bab dengan sistematika penyususunan sebagai berikut:
BAB I        PENDAHULUAN
Untuk mempermudah dalam proses topik atau gagasan yang menjadi pembahasan, maka dengan demikian pada bab ini terdiri atas sub bab yang terdiri dari Latar Belakang, Alasan Pemilihan Judul, Tujuan Dan Kontribusi Penulisan, Pembatasan Dan Perumusan Masalah, Metode Penulisan Dan Sistematika Penulisan.
BAB II       TINJAUAN PUSTAKA TENTANG TAWASSUL
Dalam bab ini, terbagi manjadi tiga sub pokok bahasan yaitu definisi tawasul, hukum tawassul dan tujuan bertawasul.
BAB  III    GAMBARAAN UMUM TENTANG HADIST TAWASSUL
Dalam bab tiga terdapat dua pokok   sub bahasan yaitu  macam-macam tawassul, hadist-hadist tawassul dan dalil-dalil al qur’an tentang tawassul
BAB VI     KAJIAN ANALILIS BERTAWASSUL DALAM HADIST   SHOHIH MUSLIM
PembahAsan bab empat adalah inti dari permsalahan yang meliputi tinjauan hukum bertawasul dalam kitab shohih muslim, yang meliputi sub bab yaitu hukum bertawasul dan analilis hadist tentang tawsul dalam kitab shohih muslim
BAB V       PENUTUP
Bab ini berisi Kesimpulan, Saran-Saran, Penutup, Dan Sebagai Pelengkap Pada Bagian Akhir Dicantumkan Daftar Pustaka Dan Daftar Riwayat Hidup Penulis.











BAB II 
TINJAUAN  UMUM TENTANG TAWASUL

A.               Definisi Tawasul
 Tawassul atau wasilah artinya adalah  mengerjakan sesuatu amal yang dapat mendekatkan diri kita pada Tuhan. Tawassul juga diperbolehkan dalam berdoa, malah hal ini akan lebih membuat doa tersebut makbul.
Tawassul adalah amalan sunat yang disukai oleh Allah. Buktinya adalah bahwa amalan  tawassul  ini disebutkan dalam Al Quran dan  hadis,  serta menjadi amalan para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin. Do'a/permintaan melalui tawasul insya Allah lebih mudah dikabulkan.
Tawassul (wasilah) adalah salah satu metode untuk menjadi orang bertaqwa. Sejarah menunjukkan bahwa generAsi salafus soleh adalah orang-orang yang sangat kuat mengamalkan tawasul.
Tawassul adalah mengambil sarana/wasilah agar do’a atau ibadahnya dapat lebih diterima dan dikabulkan. Al-wasilah menurut bahAsa berarti segala hal yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu. Bentuk jamaknya adalah wasaa-il [10] Sedang menurut istilah syari’at, al-wasilah yang diperintahkan dalam al-Qur’an adalah segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah Ta’ala, yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan.[11]
dalam istilah syara’ yang di maksud dengan tawassul adalah :
"طَلَبُ حُصُوْلِ مَنْفَعَةٍ أَوْ انْدِفَاعِ مَضَرَّةٍ مِنَ اللهِ بِذِكْرِ اسْمِ نَبِيٍّ أَوْ وَلِيٍّ إِكْرَامًا لِلْمُتَوَسَّلِ بِهِ".
Memohon datangnya manfa’at (kebaikan) atau dihindarkan dari mara bahaya (keburukan) dari Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya”.[12]
Dengan itu maka akan mulai mengkaji apa sebenarnya makna tawassul itu dan bagaimana yang disyari’atkan serta yang bagaimana yang terlarang. Tentunya agar kita tidak terjerumus ke dalamnya tanpa kita sadari karena kejahilan pada diri kita.
Firman Allah Swt :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya :
 “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diti kepadaNya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya agar kamu beruntung.” (Qs.Al-Maidah:35)[13]
Mengenai ayat diatas Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu berkata,”Makna wasilah dalam ayat tersebut adalah al-qurbah (peribadatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah).”
Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Ibnu Wa’il, al-HAsan, ‘Abdullah bin Katsir, As-Suddi, Ibnu Zaid, dan yang lainnya. Qatadah berkata tentang makna ayat tersebut,”Mendekatlah kepada Allah dengan mentaati-Nya dan mengerjakan amalan yang di ridhoi-Nya.”[14]

B.              Ide Dasar Tawassul
Ide dasar dari tawassul adalah sebagai berikut. Allah ta’ala telah menetapkan bahwa biasanya urusan-urusan di dunia ini berdasarkan hukum kausalitas; sebab akibat. Sebagai contoh; Allah ta’ala sesungguhnya maha kuasa untuk memberikan pahala kepada manusia tanpa beramal sekalipun namun kenyataannya tidak demikian. Allah memerintahkan manusia untuk beramal dan mencari hal-hal yang mendekatkan diri kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
Artinya :
 “Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’” (Q.S. al Baqarah: 45)[15]
 Ayat ini memerintahkan untuk mencari segala hal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, artinya carilah sebab-sebab tersebut, kerjakanlah sebab-sebab itu maka Allah akan mewujudkan akibatnya. Allah akan memenuhi permohonan-permohonan dengan sebab-sebab tersebut, padahal Ia maha kuasa untuk mewujudkan akibat-akibat tanpa sebab-sebab tersebut. Dan Allah ta’ala telah menjadikan tawassul dengan para nabi dan wali sebagai salah satu sebab dipenuhinya permohonan hamba, oleh karenanya kita bertawassul dengan para nabi dan wali dengan harapan agar dikabulkan permohonan kita oleh Allah.
Jadi tawassul adalah sebab syar’i yang menyebabkan dikabulkannya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan para nabi dan wali diperbolehkan baik di saat mereka masih hidup atau sudah meninggal. Karena seorang mukmin yang bertawassul keyakinannya adalah bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya secara hakiki kecuali Allah. Para nabi dan para wali tidak lain hanyalah sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka. Ketika seorang nabi atau wali masih hidup Allah yang mengabulkan permohonan hamba, demikian pula setelah mereka meninggal Allah juga yang mengabulkan permohonan hamba, bukan nabi atau wali itu sendiri. Mereka yang mengatakan tawassul hanya boleh dengan orang yang masih hidup dan haram tawassul dengan nabi atau wali yang sudah meninggal seakan mereka meyakini ta'tsir, penciptaan, pemberian pertolongan dan menjauhkan dari mudlarat secara hakiki bagi nabi atau wali yang masih hidup dan ini jelas batil. Karena yang menciptakan manfaat dan menjauhkan dari mudlarat hanya-lah Allah, tidak ada pencipta selain Allah.
Sebagian kalangan memiliki persepsi bahwa tawassul adalah memohon diciptakan manfaat dan dijauhkan dari mudlarat kepada seorang nabi atau wali dengan keyakinan bahwa yang mendatangkan bahaya dan manfa’at secara hakiki adalah seorang Nabi atau wali tersebut. Persepsi yang keliru tentang tawassul ini kemudian membuat mereka menghakimi orang yang bertawassul sebagai kafir musyrik. Padahal hakekat tawassul sesungguhnya di kalangan orang-orang yang bertawassul adalah memohon datangnya manfa’at (kebaikan) atau dihindarkan dari mara bahaya (keburukan) dari Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya.
Orang yang bertawassul adalah seperti orang yang sakit pergi ke dokter dan meminum obat agar diberikan kesembuhan oleh Allah, meskipun keyakinannya pencipta kesembuhan adalah Allah sedangkan obat hanyalah sebab kesembuhan. Jika obat dalam contoh ini adalah sabab ‘aadi, maka tawassul adalah sabab syar’i. Seandainya tawassul bukan sebab syar’i, maka Rasulullah tidak akan mengajarkan orang buta (yang datang kepadanya) agar bertawassul dengannya. Dalam hadits shahih bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam mengajarkan kepada seorang buta untuk berdo'a dengan mengucapkan:
"اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ".
"Ya Allah aku memohon dan memanjatkan do'a kepada-Mu dengan Nabi kami Muhammad; Nabi pembawa rahmat, wahai Muhammad, sesungguhnya aku memohon kepada Allah dengan engkau berkait dengan hajatku agar dikabulkan".[16]
Orang tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah ini. Orang ini adalah seorang buta yang ingin diberi kesembuhan dari butanya, akhirnya ia diberikan kesembuhan oleh Allah di belakang Rasulullah (tidak di hadapan Rasulullah) dan kembali ke majelis Rasulullah dalam keadaan sembuh dan bisa melihat. Seorang sahabat lain -yang menyaksikan langsung peristiwa ini, karena pada saat itu ia berada di majelis Rasulullah- mengajarkan petunjuk ini kepada orang lain pada masa khalifah Utsman ibn 'Affan yang tengah mengajukan permohonan kepada khalifah Utsman. Pada saat itu Sayyidina Utsman sedang sibuk dan tidak sempat memperhatikan orang ini. Maka orang ini melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang buta pada masa Rasulullah tersebut. Setelah itu ia mendatangi Utsman ibn 'Affan dan akhirnya ia disambut oleh khalifah 'Utsman dan dipenuhi permohonannya. Umat Islam selanjutnya senantiasa menyebutkan hadits ini dan mengamalkan isinya hingga sekarang. Para ahli hadits juga menuliskan hadits ini dalam karya-karya mereka seperti al Hafizh at Thabarani – beliau menyatakan dalam "al Mu'jam al Kabir" dan "al Mu'jam ash-Shaghir": "Hadits ini shahih"-, al Hafizh at-Turmudzi dari kalangan ahli hadits mutaqaddimin, juga al Hafizh an-Nawawi, al Hafizh Ibn al Jazari dan ulama muta-akhkhirin yang lain.
Hadits ini adalah dalil diperbolehkannya bertawassul dengan Nabi shallallahu 'alayhi wasallam pada saat Nabi masih hidup di belakangnya (tidak di hadapannya). Hadits ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan Nabi setelah beliau wafat seperti diajarkan oleh perawi hadits tersebut, yaitu sahabat Utsman ibn Hunayf kepada tamu sayyidina Utsman, karena memang hadits ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi hidup tetapi berlaku selamanya dan tidak ada yang menasakhnya.

C.    Tujuan Bertawasul
Sebagimana ayat-ayat di atas tawassul telah di lakukan oleh umat para nabi sebelum nabi muhammmad Saw. Oleh karenanya Rasulullahpun menganjurkan umatnya untuk melakukan tawassul.
            Dalam surat an-Nisa' ayat 64, Allah swt. berfirman:
وما ارسلنا من رسول الا ليطاع باذن الله ولو انهم اذ ظلموا انفسهم جاءواك فاستغفروا الله واستغفرلهم الرسول لوجدوا الله توابا رحيما
Artinya :
            “Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu (Muhammad saw) lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul (Muhammad Saw) pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”(Qs.An Nisa': 64)[17]

Dari ayat di atAs juga dapat diambil pelajaran yang esensial yaitu bahwa, Rasululah saw. sebagai makhluk Allah yang terkasih dan memiliki kedudukan (jah/maqom/wajih) yang sangat tinggi di sisi Allah sehingga diberi otoritas oleh Allah swt. untuk menjadi perantara (wasilah) dan tempat meminta pertolongan (istighotsah) kepada Allah swt..
Semua ahli tafsir al-Qur'an termAsuk MufAsir Salafi/Wahabi setuju bahwa ayat An-Nisa: 64 itu diturunkan ketika suatu saat sebagian sahabat melakukan kesalahan. Yang kemudian mereka sadar atAs kesalahannya dan ingin bertaubat. Dan mereka meminta ampun secara langsung kepada Allah, tapi lihat bagaimana Allah swt. telah meresponnya:
1.      Allah menolak untuk menerima permohonan ampun secara langsung, Dia memerintahkan mereka untuk terlebih dahulu mendatangi RAsulallah saw dan kemudian memintakan ampun kepada Allah swt, dan Rasulallah saw. juga diminta untuk memintakan ampun buat mereka. Dengan demikian RAsulallah saw. bisa dijuluki sebagai Pengampun dosa secara kiasan /majazi sedangkan Allah swt. sebagai Pengampun dosa yang hakiki /sebenarnya.
2.      Allah memerintahkan sahabat untuk bersikap seperti yang diperintahkan (menyertakan Rasulallah saw. dalam permohonan ampun mereka) hanya setelah melakukan ini mereka akan benar-benar mendapat pengampunan dari Yang Maha Penyayang.













BAB  III
GAMBARAAN UMUM TENTANG TAWASSUL,

A.         Tawassul dalam al qur’an 
              Kata-kata tawassul yang telah menjadi tradisi umat islam dari zaman para sahabat sampai sekarang tentu merupakan suatu tradisi yang di benarkan oleh agama hal ini di karenakan tawassul bukanlah suatu hal yang bersifat baru ataupun sering di sebut dengan istilah Bid’ah.
              Perkataan seseorang yang sering mengatakan bahwa tawassul adalah suatu hal yang bersifat bid’ah di sebabkan orang tersebut memiliki pemahaman yang salah tentang tawassul, oleh karena itu pada bab ini penulis akan menjabarkan tentang apa yang di maksud dengan tawassul tyang terdapat dalam al qur’an.
Dalam Al Qur’an surat Al Maidah Ayat 35 Allah swt berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya :
 “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diti kepadaNya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya agar kamu beruntung.” (Qs.Al-Maidah:35)[18]


Dalam tafsir munir imam nawawi menafsiri ayat di sebagi berikut :
Pertama pada kata-kata اتقوا الله yang berarti bertakwalah kepada allah atau takutlah kepada allah di tafsiri dengan kata-kata بترك المنهيات yaitu dengan meninggalkan seluruh larangan-larangan Allah. Dengan demikian apabila orang merasa dirinya bertakwa kepada maka harus mampu menahan hawa nafsunya untuk meninggalkan semua larangan-larangannya.
Kedua, pada kata وابتغوا اليه الوسيلة  yang berarti dan carilah perantara untuk menuju ridho Allah kemudian di tafsiri oleh imam nawawi dengan kata بفعل المأمورات  yaitu dengan cara melaksanakan perintah-perintahnya. Dengan kata lain apabila orang ingin menuju jalan keridhoan Allah maka orang tersebut harus mampu untuk melaksanakan seluruh apa yang menjadi perintah-perintah Allah.
Ketiga, pada kata وجاهدوا في سبيله  yang berarti dan berjihadlah di jalannya kemudian di tafsiri dengan kata اي في سبيل عبوديته وطريق الاخلاص في معرفته وخدمته  yaitu di jalan kehambaannya dan jalan ikhlas dalam berma’rifat dengannya dan berkhidmah kepadanya. Ketiga hal ini diperintahkan oleh allah swt kepada seluruh orang-orang yang beriman dengan satu natijah atau tujuan yaitu لعلكم تفلحون yaitu agar menjadi orang yang berbahagia dengan memperoleh ridhonya dan bahagia dengan kemuliaan yang Allah berikan kepadanya. [19]
Dari uraian tafsir di atas penulis dapat menyimpulkan bahwasannya wasilah adalah suatu perantara yang akan menjadikan keberhasilan atau kemuliaan seseorang yang secara gamblang imam nawawi menafsiri wasilah dengan kata “bifi’lil ma’muroot” yang di maksud adalah tawassul atau proses sampainya manusia kepada Allah harus dengan kontinyu dalam beribadah kepada Allah.
 
B.          Macam-Macam Tawassul
Tawassul merupakan sarana mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya, beribadah kepada-Nya, mengikuti petunjuk Rasul-Nya dan mengamalkan seluruh amalan yang dicintai dan di ridhai-Nya, lebih jelsnya adalah melakukan suatu ibadah dengan maksud mendapatkan keridhaan Allah swt.
Untuk itulah disini dibahas tentang berbagai macam bentuk tawassul yang sudah tersebar bahkan di lingkungan sekitar. Tawassul  diperbolehkan menurut syar’i karena ini merupakan suatu bentuk ibadah kepada Allah yang sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi kita shallallahu’alaihi wa sallam.
Adapun tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tertentu) ada tiga macam: tawassul sunnah, tawassul bid’ah, dan tawassul syirik.
1.        Tawassul Sunnah
a.       Bertawassul dengan menyebut Asma’ul husna yang sesuai dengan hajatnya ketika berdo’a. Allah Ta’ala berfirman,
ولله الاسماء الحسني فادعوه بها وذروا الذين يلحدون في اسمائه سيجزون ماكانوا يعملون
“Hanya milik Allah-lah Asma’ul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut Asma’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balAsan terhadap apa yang telah mereka kerjaan.” (Qs.Al-A’raf:180)[20]
bertawassul dengan menyebut nama-nama Allah seperti al Asma’ al Husna atau menyebut sifat-sifat Allah. Seperti doa yang dianjurkan untuk dibaca setelah menyebut al Asma’ al Husna:
"اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ القُرْءَانَ رَيِيْعَ قَلْبِيْ وَنُوْرَ صَدْرِيْ وَجَلاَءَ حُزْنِيْ وَذَهَابَ هَمِّيْ".
"Ya Allah, sungguh aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu yang laki-laki dan perempuan, jiwaku ada dalam kekuasaan-Mu, ketetapan-Mu berlaku terhadapku, ketetapan-Mu bagiku adalah adil. Aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan Dzat-Mu dengannya, atau Engkau beritahukan kepada salah seorang hamba-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang hanya Engkau yang mengetahuinya, (Aku memohon) jadikanlah al Qur'an sebagai isi dan penyemarak hatiku, penerang bagi jiwaku, pengangkat kesedihanku dan penghilang kesusahanku".[21]
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dalam do’anya,
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan seluruh nama-Mu, yang Engkau menamakan diriMu dengan nama-nama tersebut, atau yang telah Engkau ajarkan kepada salah seorang hambaMu, atau yang telah Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang mAsih tersimpan di sisi-Mu.” (HR.Ahmad :3712)[22]
b.      Bertawassul dengan sifat-sifat Allah Ta’ala. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda  dalam do’anya,
“Wahai Dzat Yag Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri, hanyadengan RahmatMu lah aku ber istighatsah, luruskanlah seluruh urusanku, dan janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata.” (HR. An-Nasa’i, Al-Bazzar dan Al-Hakim)[23]
c.       Bertawassul dengan amal shalih
Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab shahih muslim, sebuah riwayat yang mengisahkan tentang tiga orang yang terperangkap dalam gua. Lalu mAsing-mAsing bertawassul dengan amal shalih mereka. Orang pertama bertawassul dengan amal shalihnya berupa memelihara hak buruh. Orang ke dua bertawassul dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Sedangkan orang ke tiga bertawassul dengan takutnya kepada Allah Ta’ala, sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak dia lakukan. Akhirnya Allah Ta’ala membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghalanginya, hingga mereka bertiga pun akhirnya selamat. (HR.Muslim 7125)
d.      Bertawassul dengan meminta doanya orang shalih yang mAsih hidup. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa ada seorang buta yang datang menemui RAsulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Orang itu berkata, “Wahai RAsulullah, berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkanku (sehingga aku bisa melihat kembali).”
RAsulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjawab, “Jika Engkau menghendaki aku akan berdoa untukmu. Dan jika engkau menghendaki, bersabar itu lebih baik bagimu.”
Orang tersebut tetap berkata,”Do’akanlah.”
Lalu RAsulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyuruhnya berwudhu secara sempurna lalu shalat dua raka’at, selanjutnya beliau menyuruhnya berdoa dengan mengatakan,
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan aku menghadap kepada-Mu bersama dengan nabi-Mu, Muhammad, seorang nabi yang membawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap bersamamu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, agar Dia memenuhi untukku. Ya Allah jadikanlah ia pelengkap bagi (doa)ku, dan jadikanlah aku pelengkap bagi (doa)nya.” Ia (perawi hadits) berkata,”Laki-laki itu kemudian melakukannya, sehingga dia sembuh.” (HR.Ahmad dan Tirmidzi)
e.       Bertawassul dengan keimanannya kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِياً يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ آمِنُواْ بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu),’Berimanlah kamu kepada Tuhanmu’. Maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.” (Qs.Ali-Imran:193)[24]
f.       Bertawassul dengan ketauhidannya kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ  مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ
Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersemptnya (menyulitkannya). Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap,’bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disebah) selain Engkau, maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku adalah termAsuk orang-orang yang zalim.’ Maka Kami telah memperkenankan do’anya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikian Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (Qs.Al-Anbiya:87-88)[25]

2.        Tawassul Bid’ah
a.       Tawassul dengan kedudukan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam atau kedudukan orang selain beliau.
Dalam shahih Bukhari terdapat hadits,
عن انس بن مالك ان عمر بن الخطاب رضي الله عنه كان اذا قحطوا استسقي بالعباس بن عبد المطلب فقال اللهم انا كنا نتوسل اليك بنبينا فتسقينا وانا نتوسل اليك بعم نبينا فاسقنا قال فيسقون ( رواه البخاري)  
“Dari AnAs bin Malik, bahwAsannya Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu jika terjadi kekeringan, maka beliau berdo’a agar diturunkan hujan dengan bertawassul melalui perantaraan (do’a) Al-‘AbbAs bin Abdul Muthallib. Umar berkata,’Ya Allah dahulu kami bertawassul dengan nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada Kami. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami’. Kemudian turunlah hujan.” (HR.Bukhari: 1010)[26]
Maksud bertawassul dengan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bukanlah “Bertawassul dengan menyebut nama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam atau dengan kedudukannya sebagaimana persangkaan sebagian orang. Akan tetapi maksudnya adalah bertawassul dengan do’a Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Oleh karena itu ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah wafat, para sahabat tidak bertawassul dengan nama atau keddukan Nabi, akan tetapi bertawassul dengan doa paman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam –yaitu ‘AbbAs- yang saat itu mAsih hidup.
b.      Bertawassul dengan cara menyebutkan nama atau kemuliaan orang shalih ketika berdo’a kepada Allah Ta’ala.
Ini adalah bid’ah bahkan perantara menuju kesyirikan. Contoh,”Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan kemuliaan Syaikh Abdul Qadir Jailani, ampunilah aku.”
c.       Bertawassul dengan cara beribadah kepada Allah Ta’ala di sisi kubur orang shalih. Ini merupakan bid’ah yang diada-adakan, dan bahkan merupakan perantara menuju kesyirikan.
3.     Tawassul Syirik
Tawassul yang syirik adalah menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam beribadah seperti berdoa kepada mereka, meminta hajat, atau memohon pertolongan kepada mereka. Contoh,”Ya Sayyid Al-Badawi, mohonlah kepada Allah untuk kami”.
Perbuatan ini merupakan syirik akbar dan dosa besar yang paling besar, meskipun mereka menamakannya dengan “tawassul”. Hukum syirik ini dilihat dari hakikatnya yaitu berdo’a kepada selain Allah.









BAB VI
KAJIAN ANALILIS BERTAWASSUL DALAM HADIST SHOHIH MUSLIM
A.          Hukum Bertawasul
Tawassul merupakan suatu amalan yang menjadi sarana bagi umat muslim dengan harapan untuk memudahkan sampainya suatu permohonan kepada Allah, oleh karena itu banyak Ayat-ayat Al Qur’an yang di dalamnya menerangkan tentang anjuran untuk bertawassul di antaranya :
 Dalam  Surat Ali Imran ayat 49 Allah Swt. Berfirman:
ورسولا الي بني اسرائيل اني قد جئتكم بأية من ربكم أني أخلك لكم من الطين كهيئة الطير فانفخ فيه فيكون طيرا باذن الله وابرئ الاكمه والابرص واحي الموتى باذن الله وانبئكم بما تأكلون وما تدخرون في بيوتكم ان في ذلك لاية لكم ان كنتم مؤمنين
Artinya :
“Dan (sebagai) RAsul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka) : ‘Sesungguhnya aku (Nabi Isa As.) telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung, Kemudian aku meniupnya, Maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerAsulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman' ”.(Qs.  Ali Imran :49)[27]
Dalam ayat di atAs disebutkan bahwa para pengikut Isa Al MAsih bertawassul kepadanya untuk memenuhi hajat mereka, termAsuk menghidupkan orang mati, menyembuhkan yang berpenyakit sopak dan buta. Tentu, mereka bertawassul kepada nabi Allah tadi bukan karena mereka meyakini bahwa Isa al-Masih memiliki kekuatan dan kemampuan secara independent dari kekuatan dan kemampuan Maha Sempurna Allah Swt, sehingga tanpa bantuan Allah-pun Isa mampu melakukan semua hal tadi.
Tetapi mereka meyakini bahwa Isa al-MAsih dapat melakukan semua itu (memenuhi berbagai hajat mereka) karena Nabi Isa As. Memiliki ‘kedudukan khusus' ( jah/wajih) di sisi Allah, sebagai kekAsih Allah, sehingga apa yang di inginkan olehnya niscaya akan dikabulkan atau diizinkan oleh Allah swt. Ini bukanlah tergolong syirik, karena syirik adalah; Meyakini kekuatan dan kemampuan Isa al-Masih (makhluk Allah) secara independent (merdeka) dari kekuatan dan kemampuan Allah”. Sudah tentu, muslimin sejati selalu yakin dan percaya bahwa semua kekuatan dan kemampuan yang dimiliki oleh makhluk Allah swt. tidak akan terjadi kecuali dengan izin Allah swt. Namun aneh jika kelompok Wahabi langsung menvonis musyrik bagi pelaku tawassul/istighotsah kepada para kekasih Ilahi semacam itu.
Dalam surat Yusuf ayat 97, Allah swt. berfirman:
قالوا يا أبانا استغفر لنا ذنوبنا انا كنا خاطئين
Artinya :
Mereka berkata:Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).”(Qs.Yusuf : 97)[28]
Jika kita teliti dari ayat ini maka akan dapat diambil pelajaran bahwa, para anak-anak Ya'qub As. mereka tidak meminta pengampunan dari Ya'qub sendiri secara independent tanpa melihat kemampuan dan otoritas mutlak Ilahi dalam hal pengampunan dosa. Namun mereka jadikan ayah mereka yang tergolong kekasih Ilahi (nabi) yang memiliki kedudukan khusus di mata Allah sebagai wasilah (sarana penghubung) permohonan pengampunan dosa dari Allah swt. Dan ternyata, nabi Ya'qub pun tidak menyatakan hal itu sebagai perbuatan syirik, atau memerintahkan anak-anaknya agar langsung memohon kepada Allah swt, karena Allah Maha mendengarkan segala per- mohonan dan do'a, malahan nabi Ya'qub As menjawab permohonan anak-anaknya tadi dengan ungkapan:
قال سوف استغفر لكم ربي انه هو الغفور الرحيم
Artinya :
 Ya'qub berkata: ‘ Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha penyayang'(QS Yusuf: 98).[29]
Dengan adanya ayat-ayat Al Qur’an di atas bisa di ambil kesimpulan bahwasannya tawassul merupakan suatu perbuatan yang juga pernah di lakukan oleh umat-umat nabi terdahu yang juga melakukan tawassul kepda nabinya masing-masing sehingga hukum bertawassul sendiri adalah di benarkan adanya dan di anjurkan oleh Allah Swt.

B.                 Tawassul Menurut Madzhab Empat
Masalah tawassul dengan para nabi dan orang saleh ini hukumnya boleh dengan ijma' para ulama Islam sebagaimana dinyatakan oleh ulama madzhab empat seperti al Mardawi al Hanbali dalam Kitabnya al Inshaf, al Imam as-Subki asy-Syafi'i dalam kitabnya Syifa as-Saqam, Mulla Ali al Qari al Hanafi dalam Syarh al Misykat, Ibn al Hajj al Maliki dalam kitabnya al Madkhal.
1.      Ibnu Muflih al Hanbali dalam kitabnya al Furuu’  mengatakan:
"وَيَجُوْزُ التَّوَسُّلُ بِصَالِحٍ، وَقِيْلَ: يُسْتَحَبُّ".
Boleh bertawassul dengan orang saleh, bahkan dalam suatu pendapat: disunnahkan”.[30]
3.      Al Imam al Buhuti al Hanbali mengatakan dalam kitab Kasysyaf al Qina’ :
وَقَالَ السَّامِرِيُّ وَصَاحِبُ التَّلْخِيْصِ: لاَ بَأْسَ بِالتَّوَسُّلِ لِلاسْتِسْقَاءِ بِالشُّيُوْخِ وَالعُلَمَاءِ الْمُتَّقِيْنَ، وَقَالَ فِيْ الْمُذَهَّبِ: يَجُوْزُ أَنْ يُسْتَشْفَعَ إِلَى اللهِ بِرَجُلٍ صَالِحٍ، وَقِيْلَ يُسْتَحَبُّ. وَقَالَ أَحْمَدُ فِيْ مَنْسَكِهِ الَّذِيْ كَتَبَهُ لِلْمَرُّوْذِيِّ: إِنَّهُ يَتَوَسَّلُ بِالنَّبِيِّ فِيْ دُعَائِهِ يَعْنِيْ أَنَّ الْمُسْتَسْقِيَ يُسَنُّ لَهُ فِيْ اسْتِسْقَائِهِ أَنْ يَتَوَسَّلَ بِالنَّبِيِّ- ، وَجَزَمَ بِهِ فِيْ الْمُسْتَوْعَبِ وَغَيْرِهِ"، ثُمَّ قَالَ:"قَالَ إِبْرَاهِيْمُ الْحَرْبِيُّ: الدُّعَاءُ عِنْدَ قَبْرِ مَعْرُوْفٍ الْكَرْخِيِّ التِّرْيَاقُ الْمُجَرَّبُ" ا.هـ .
As-Samiri dan pengarang kitab Talkhish mengatakan: boleh bertawassul untuk meminta hujan kepada Allah dengan orang-orang saleh dan para ulama yang bertaqwa. Pengarang kitab al Mudzahhab mengatakan: boleh beristisyfa’ dan bertawassul kepada Allah dengan orang yang saleh, bahkan menurut suatu pendapat disunnahkan. Imam Ahmad mengatakan dalam kitab Mana-sik yang beliau tulis untuk al Marrudzi: orang yang berdoa setelah istisqa’ hendaklah bertawassul dengan Nabi dalam doa-nya. Dalam kitab al Mustaw’ab dan lainnya hal ini dipastikan sebagai madzhab Ahmad”. Kemudian al Buhuti mengatakan: “Ibrahim al Harbi mengatakan: berdoa di makam Ma’ruf al Karkhi adalah obat yang mujarrab (jika berdoa di sana akan dikabulkan oleh Allah)”.[31]

Ibrahim al Harbi adalah seorang ulama yang semasa dengan Ahmad ibn Hanbal, seorang ahli hadits bahkan juga seorang mujtahid. Beliau adalah salah seorang yang direkomendasikan oleh Ahmad ibn Hanbal agar anaknya berguru kepadanya.
4.      Syekh ‘Ala-uddin al Mardawi al Hanbali, salah satu ulama madzhab Hanbali yang terkemuka, mengatakan dalam kitab al Inshaaf :
وَمِنْهَا يَجُوْزُ التَّوَسُّلُ بِالرَّجُلِ الصَّالِحِ عَلَى الصَّحِيْحِ مِنَ الْمَذْهَبِ، وَقِيْلَ يُسْتَحَبُّ، قَالَ الإِمَامُ أَحْمَدُ لِلْمَرُّوْذِيِّ: يَتَوَسَّلُ بِالنَّبِيِّ فِيْ دُعَائِهِ، وَجَزَمَ بِهِ فِيْ الْمُسْتَوْعَبِ وَغَيْره
Di antaranya: boleh bertawassul dengan orang saleh menurut pendapat yang sahih dalam madzhab (Hanbali), bahkan menurut suatu pendapat dalam madzhab disunnahkan. Imam Ahmad mengatakan kepada al Marrudzi: hendaklah orang yang beristisqa’ bertawassul dengan Nabi dalam doanya, dan hal ini dipastikan sebagai madzhab Ahmad dalam kitab al Mustaw’ab dan lainnya”.[32]

5.      Bahkan al Imam Ahmad ibnu Hanbal berkomentar tentang Abu Abdillah Shafwan ibn Sulaym al Madani sebagaimana dinukil oleh al Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam Syarh al Ihya’:
"قَالَ أَحْمَدُ: هُوَ يُسْتَسْقَى بِحَدِيْثِهِ وَيَنْزِلُ الْقَطْرُ مِنَ السَّمَاءِ بِذِكْرِهِ، وَقَالَ مَرَّةً: هُوَ ثِقَةٌ مِنْ خِيَارِ عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ".
Ahmad mengatakan: Dia -Shafwan bin Sulaym- adalah orang yang kita memohon hujan kepada Allah dengan haditsnya dan akan turun hujan dengan menyebut namanya, pada kesempatan lain Ahmad mengatakan: Beliau adalah orang yang tsiqah –terpercaya- dan termasuk hamba Allah yang saleh”.[33]

6.      As-Suyuthi juga menukil perkataan yang sama dalam Thabaqaat al Huffazh  dari Imam Ahmad ibn Hanbal:
وَذُكِرَ عِنْدَ أَحْمَدَ فَقَالَ: هَذَا رَجُلٌ يُسْتَشْفَى بِحَدِيْثِهِ وَيَنْزِلُ القَطْرُ مِنَ السَّمَاءِ بِذِكْرِهِ".
Suatu ketika disebut Shafwan bin Sulaym di depan Ahmad, maka Ahmad mengatakan: Ini adalah orang yang kita memohon kesembuhan kepada Allah dengan haditsnya dan akan turun hujan dengan menyebut namanya”.[34]

7.      Abdullah ibn al Imam Ahmad menukil dari ayahnya; Ahmad ibn Hanbal dalam kitab al ‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal:
قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: قَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ: رَجُلاَنِ صَالِحَانِ يُسْتَسْقَى بِهِمَا ابْنُ عَجْلاَنَ وَيَزِيْدُ بْنُ يَزِيْدَ بْنِ جَابِرٍ".
Ahmad ibn Hanbal mengatakan: Sufyan ibnu ‘Uyaynah mengatakan: ada dua orang saleh yang kita memohon hujan kepada Allah dengan menyebut namanya: Ibnu ‘Ajlaan dan Yazid bin Yazid bin Jabir”.[35]

Jadi disimpulkan bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal dan madzhab Hanbali –sebagaimana madzhab-madzhab yang lain- membolehkan tawassul dengan Nabi dan orang-orang saleh yang sudah meninggal, bahkan disunnahkan. Ini berbeda dengan perkataan sebagian orang yang mengaku sebagai pengikut madzhab Hanbali lalu mengatakan bahwa tawassul adalah haram, bahkan syirik dan ulama salaf tidak pernah membolehkan atau melakukan tawassul. Sungguh aneh, ada orang yang mengaku sebagai pengikut Imam Ahmad dan madzhab Hanbali lalu menjadikan sesuatu yang diperbolehkan oleh imam madzhab dan ulama madzhab sebagai perkara haram bahkan syirik ?!.
Lihatlah al Imam Abu al Wafa ibnu ‘Aqil (W. 503 H) yang merupakan ulama besar madzhab Hanbali dan salah satu Ahl at-Takhrij (Ashab al Wujuh) dalam madzhab Hanbali. Beliau sangat menekankan untuk berziarah ke makam Rasulullah dan bertawassul dengannya dalam kitab beliau at-Tadzkirah. Ini adalah salah satu bukti bahwa orang-orang yang mengaku mengikuti madzhab Hanbali lalu mengharamkan tawassul dan memusyrikkan pelakunya sebetulnya mereka adalah orang-orang yang menyempal dari madzhab Hanbali dan syudzudz ini telah menjadi kebiasaan mereka baik dalam masalah-masalah ushul maupun furuu’. Alangkah jauhnya mereka dari Imam Ahmad dan madzhab Hanbali ?!!.
Para ahli hadits (Hafizh) telah menyatakan bahwa hadits ini shahih, baik yang marfu' maupun kadar yang mawquf (peristiwa di masa sayyidina 'Utsman), di antaranya al Hafizh ath-Thabarani.
C.             Analisis Hadits- Hadits Tentang Tawassul
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ :أَنَّ رَجُلًا ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَنِي قَالَ إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قَالَ فَادْعُهْ قَالَ فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ
Dari ustman bin hanif sesungguhnya seseorang yang sakit mata datang kepada nabi saw lalu berkata, berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku, Nabi menjawab, jika kamu mau, maka aku akan berdoa (untukmu) dan jika kamu ingin, maka bersabarlah dan itu lebih baik bagimu, lalu dia berkata, berdoalah. Ustman Bin Hanif berkata, lalu Nabi memerintahkannya untuk berwudhu dengan baik lalu berdoa dengan doa ini, ya Allah sesungguhnya hamba  mohon kepadaMu dan hamba menghadap kepadaMu dengan NabiMu Muhammad Nabi pembawa rahmat, sesungguhnya aku menghadap kepada Tuhanku dengan engkau ya RAsuulullah supaya hajatku ini dikabulkan, ya Alloh jadikanlah ia pemberi syafaat hajatku untukku[36].(Shahih Ibn Khuzaimah hadits no.1219, Mustadrak ala shahihain hadits no.1180 dan ia berkata hadits ini shahih dg syarat shahihain Imam Bukhari dan Muslim). Hadist ini dishahihkan oleh Al hakim, Ibnu Khuzaimah dan disetujui oleh adz Dzahabi.

قَالَ : وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ عَلَى الطَّعَامِ , قَالَ : أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِي زَمَنِ عُمَرَ , فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم , فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ , اسْتَسْقِ لأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوا , فَأَتَى الرَّجُلَ فِي الْمَنَامِ فَقِيلَ لَهُ : ائْتِ عُمَرَ فَأَقْرِئْهُ السَّلامَ , وَأَخْبِرْهُ أَنَّكُمْ مُسْتَقِيمُونَ وَقُلْ لَهُ : عَلَيْك الْكَيْسُ , عَلَيْك الْكَيْسُ , فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَبَكَى عُمَرُ , ثُمَّ قَالَ : يَا رَبِّ لاَ آلُو إلاَّ مَا عَجَزْت عَنْهُ.

 Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari ‘AmAsy dari Abi Shalih dari Malik Ad Daar dan ia seorang bendahara gudang makanan pada pemerintahan Umar. Ia berkata “Orang-orang mengalami kemarau panjang saat pemerintahan Umar. Kemudian seorang laki-laki datang ke makam Nabi SAW dan berkata “Ya RAsulullah SAW mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah binAsa”. Kemudian orang tersebut mimpi bertemu RAsulullah SAW dan dikatakan kepadanya “datanglah kepada Umar dan ucapkan salam untuknya beritahukan kepadanya mereka semua akan diturunkan hujan. Katakanlah kepadanya “bersikaplah bijaksana, bersikaplah bijaksana”. Maka laki-laki tersebut menemui Umar dan menceritakan kepadanya akan hal itu. Kemudian Umar berkata “Ya Tuhanku aku tidak melalaikan urusan umat ini kecuali apa yang aku tidak mampu melakukannya
Berikut ini akan dikemukakan dalil-dalil tentang disyari’atkannya tawassul secara lebih detail :
  1. Hadits tentang orang buta yang datang kepada Rasulullah yang telah disebutkan. Hadits tersebut diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir dan al Mu’jam ash-Shaghir dan beliau mensahihkannya. Juga diriwayatkan oleh at-Turmudzi, al Hakim dan lainnya. Hadits ini disahihkan oleh al Hafizh at-Turmudzi, Ibnu Khuzaimah, ath-Thabarani, al Hakim, al Bayhaqi, al Mundziri, an-Nawawi, adz-Dzahabi, Ibnu Hajar, al Haytsami, al Hafizh Ibn al Jazari, as-Suyuthi dan para ulama yang lain.
Jika ada orang yang mengatakan bahwa makna:
"اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ".
Adalah:
"اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِدُعَاءِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ ...".
Dengan dalil perkataan Nabi di awal hadits:
"إِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ".
Jika engkau mau engkau bisa bersabar, dan jika engkau mau aku akan mendoakan kamu”.

Dan itu artinya orang tersebut memohon doa kepada Nabi ketika beliau masih hidup dan itu jelas boleh, sedangkan yang dilakukan oleh orang yang bertawassul adalah memohon didoakan dari orang yang sudah mati atau hidup tapi tidak di hadapannya dan hal ini tidak diperbolehkan
"فَفَعَلَ الرَّجُلُ مَا قَالَ، فَوَ اللهِ مَا تَفَرَّقْنَا وَلاَ طَالَ بِنَا الْمَجْلِسُ حَتَّى دَخَلَ عَلَيْنَا الرَّجُلُ وَقَدْ أَبْصَرَ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِهِ ضُرٌّ قَطُّ".
Orang buta tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah, dan demi Allah kita belum lama berpisah dan belum lama majelis Rasulullah berlangsung hingga orang buta tersebut kembali datang ke majelis dan telah bisa melihat seakan sebelumnya tidak pernah terkena kebutaan sama sekali”.

Dari penegasan sahabat ini diketahui bahwa maksud perkataan Nabi di awal hadits adalah bahwa beliau akan mengajarkan doa kepada orang buta tersebut, bukan mendoakannya secara langsung:
"... وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ" أَيْ عَلَّمْتُكَ دُعَاءً تَدْعُوْ بِهِ.
Jadi pemaknaan yang dilakukan dengan taqdir (بِنَبِيِّنَا: بِدُعَاءِ نَبِيِّنَا ) itu tidak benar karena memang tidak ada dalilnya. Jadi bertawassul dengan Nida’ sekalipun tidak di hadapan seorang Nabi atau wali adalah boleh seperti jelas-jelas disebutkan dalam hadits tersebut tanpa ditakwil-takwil dan tanpa perlu taqdir kalimat tertentu.
Hadits ini menunjukkan dibolehkannya bertawassul dengan para nabi dan wali yang masih hidup tanpa berada di hadapan mereka. Karena sahabat yang buta tersebut tidak bertawassul di hadapan Nabi, melainkan pergi ke tempat wudlu, lalu berwudlu, sholat dan berdoa dengan lafazh yang diajarkan oleh Nabi, kemudian dia mendatangi Nabi dan Nabi belum meninggalkan majelisnya seperti disebutkan oleh perawi hadits tersebut. Hadits ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan para nabi dan wali, baik ketika masih hidup maupun sudah meninggal seperti diajarkan oleh perawi hadits tersebut, yaitu sahabat Utsman ibn Hunayf kepada tamu sayyidina Utsman. Jadi hadits yang sahih ini membantah perkataan sebagian orang bahwa bertawassul hanya boleh dengan al Hayy al Hadlir (Nabi atau Wali yang masih hidup dan tawassul dilakukan di hadapannya) dengan meminta doanya.
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya dari Abu Sa'id al Khudri –semoga Allah meridlainya-, ia berkata, Rasulullah bersabda :
َنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ إِلَى الصَّلاَةِ فَقَالَ : اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ وَبِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا فَإِنِّيْ لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًا وَلاَ بَطَرًا وَلاَ رِيآءً وَلاَ سُمْعَةً خَرَجْتُ اتِّقَاءَ سَخَطِكَ وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ فَأَسْأَلُكَ أَنْ تُنْقِذَنِـيْ مِنَ النَّارِ وَأَنْ تَغْفِرَ لِيْ ذُنُوْبِيْ إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبِ إِلاَّ أَنْتَ ، أَقْبَلَ اللهُ عَلَيْهِ بِوَجْهِهِ وَاسْتَغْفَرَ لَهُ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ" (رَوَاهُ أحْمدُ في الْمُسنَد والطّبَرَانِيّ في الدعاء وابن السُّنِّيِّ في عمل اليوم والليلة والبيهقيّ في الدعوات الكبير وغيرهم، صحّحه ابن خزيمة وحسَّنَه الحافظ ابن حجر والحافظ أبو الحسن الْمَقدِسيّ والحافظ العراقيّ والحافظ الدمياطيّ وغيرهم).
"Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) kemudian ia berdo'a: "Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan derajat orang-orang yang saleh yang berdo'a kepada-Mu (baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal) dan dengan derajat langkah-langkahku ketika berjalan ini, sesungguhnya aku keluar rumah bukan untuk menunjukkan sikap angkuh dan sombong, juga bukan karena riya’ dan sum'ah, aku keluar rumah untuk menjauhi murka-Mu dan mencari ridla-Mu, maka aku memohon kepada-Mu: selamatkanlah aku dari api neraka dan ampunilah dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, maka Allah akan meridlainya dan tujuh puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya" [37](H.R. Ahmad dalam "al Musnad", ath-Thabarani dalam "ad-Du'a", Ibn as-Sunni dalam" 'Amal al Yaum wa al-laylah", al Bayhaqi dalam Kitab "ad-Da'awat al Kabir" dan selain mereka, sanad hadits ini disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan dihasankan oleh al Hafizh Ibn Hajar, al Hafizh Abu al Hasan al Maqdisi, al Hafizh al 'Iraqi, al Hafizh ad-Dimyathi dan lain-lain).
Al Hafizh al-Lughawi Murtadla az-Zabidi mengatakan dalam Syarh al Ihya' (5/89):
"وَالْمُرَادُ بِالْحَقِّ فِيْ الْمَوْضِعَيْنِ الْجَاهُ وَالْحُرْمَةُ".
"Maksud dari kata Haqq di dua tempat (dalam hadits tersebut) adalah kedudukan atau derajat yang tinggi dan kemuliaan".[38]
Hadits ini menunjukkan dibolehkannya bertawassul dengan para shalihin, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Karena jelas tawassul dilakukan tiada lain dengan orang-orang saleh, tidak mungkin bertawassul dengan para pendosa dan ahli maksiat. Dalam hadits ini pula Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam mengajarkan untuk menggabungkan antara tawassul dengan adz-Dzawaat al Faadlilah (seorang nabi atau wali dan orang-orang saleh) dan tawassul dengan amal saleh, beliau tidak membedakan antara keduanya, tawassul jenis pertama hukumnya boleh dan yang kedua juga boleh. Dalam hadits ini tawassul dengan adz-Dzawaat al Faadlilah ada pada kata (بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ ) 
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dengan sanad yang hasan sebagaimana dikatakan oleh al Hafizh Ibnu Hajar bahwa al Harits ibn Hassan al Bakri berkata kepada Rasulullah:
 أَعُوْذُ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ أَنْ أَكُوْنَ كَوَافِدِ عَادٍ
 Aku berlindung kepada Allah dan Rasul-Nya dari menjadi seperti utusan kaum ‘Aad (utusan yang yustru menghancurkan kaum yang mengutusnya)” (H.R. Ahmad)[39]

Hadits ini menunjukkan dibolehkannya bertawassul dan beristighatsah meskipun dengan lafazh al Isti’adzah. Dalam hadits ini al Harits ibn Hassan al Bakri memohon perlindungan (beristi’adzah) kepada Allah karena Allah adalah yang dimohoni perlindungan secara hakiki (Musta’adz bihi haqiqi), sedangkan ketika ia memohon perlindungan kepada Rasulullah karena Rasulullah adalah yang dimohoni perlindungan dengan makna sebab (Musta’adz bihi ‘ala ma’na annahu sabab). Rasulullah tidak mengkafirkannya, tidak memusyrikkannya bahkan tidak mengingkarinya sama sekali, padahal kita tahu bahwa Rasulullah tidak akan pernah mendiamkan terjadinya perkara mungkar sekecil apapun. Dalam hadits ini Rasulullah tidak mengatakan: “Engkau telah musyrik karena mengatakan: (وَرَسُوْلِهِ), karena engkau telah beristi’adzah kepadaku”.
Orang-orang yang menganggap tawassul dengan Nabi sebagai perkara syirik, apa yang akan mereka katakan tentang Imam Ahmad yang mencantumkan hadits ini dalam Musnad-nya, apakah mereka menganggap Ahmad menyetujui perbuatan syirik atau apa yang akan mereka katakan ?!!.
Al Bazzar meriwayatkan hadits Rasulullah:
"حَيَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ وَمَمَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ، تُحْدِثُوْنَ وَيُحْدَثُ لَكُمْ، وَوَفَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ، فَمَا رَأَيْتُ مِنْ خَيْرٍ حَمِدْتُ اللهَ عَلَيْهِ وَمَا رَأَيْتُ مِنْ شَرٍّ اسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ" رواه البزّار ورجاله رجال الصحيح

Hidupku adalah kebaikan bagi kalian dan matiku adalah kebaikan bagi kalian, ketika aku hidup kalian melakukan banyak hal lalu dijelaskan hukumnya bagi kalian melalui aku. Matiku juga kebaikan bagi kalian, diberitahukan kepadaku amal perbuatan kalian, jika aku melihat amal kalian baik maka aku memuji Allah karenanya dan jika aku melihat ada amal kalian yang buruk aku memohonkan ampun untuk kalian kepada Allah” (H.R. al Bazzar dan para perawinya adalah para perawi sahih)

Hadits ini disahihkan oleh al Hafizh al ‘Iraqi, al Haytsami, al Qasthallani, as-Suyuthi dan lainnya.
Hadits ini menunjukkan bahwa meskipun sudah meninggal Rasulullah bisa mendoakan atau memohonkan ampun kepada Allah untuk ummatnya. Oleh karenanya diperbolehkan bertawassul dengannya, memohon didoakan olehnya meskipun beliau sudah meninggal.



















BAB V
PENUTUP
A.          Kesimpulan
Dari beberapa uraian yang telah penulis uraikan di atas dapat penulis simpulkan :
1.      Tawassul adalah mengambil sarana/wasilah agar do’a atau ibadahnya dapat lebih diterima dan dikabulkan. dalam istilah syara’ yang di maksud dengan tawassul adalah :
طَلَبُ حُصُوْلِ مَنْفَعَةٍ أَوْ انْدِفَاعِ مَضَرَّةٍ مِنَ اللهِ بِذِكْرِ اسْمِ نَبِيٍّ أَوْ وَلِيٍّ إِكْرَامًا لِلْمُتَوَسَّلِ بِهِ".
Memohon datangnya manfa’at (kebaikan) atau dihindarkan dari mara bahaya (keburukan) dari Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya”.[40]
2.      Adapun tawassul ada tiga macam: tawassul sunnah, tawassul bid’ah, dan tawassul syirik.
a.       Tawassul Sunnah di antaranya :
1)      Bertawassul dengan menyebut Asma’ul husna
2)      Bertawassul dengan sifat-sifat Allah Ta’ala.
3)      Bertawassul dengan amal shalih
4)      Bertawassul dengan keimanannya kepada Allah Ta’ala.
b.      Tawassul Bid’ah
1)      Tawassul dengan kedudukan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
2)      Bertawassul dengan cara menyebutkan nama atau kemuliaan orang shalih ketika berdo’a kepada Allah Ta’ala.
3)      Bertawassul dengan cara beribadah kepada Allah Ta’ala di sisi kubur orang shalih.
c.       Tawassul Syirik
3.      Adapun hukum daripada tawassul di atas hanya tawassul yang sunah yang hukumnya di sepakati kebolehannya oleh para ulama yang berdasar pada al qur’an dan hadits

B.                 Saran-Saran
Tawassul merupakan jalan untuk mempermudah di kabulkannya suatu permintaan sang hamba oleh karena itu Melalui risalah yang sederhana ini, penulis merasa perlu memberikan saran-saran walaupun sedikit, tetapi semoga bermanfaat bagi diri penulis pada khususnya maupun bagi orang lain.
Di antara saran-saran penulis diantaranya :
1.            Janganlah mudah terpengaruh dengan ucapan-ucapan seseorang yang mudah mengatakan kata-kata bid’ah kepada orang yang bertawassul karena telah jelas dan gamblang bahwa tawassul merupakan Amaliah orang muslim yang terdapat dalilnya baik dalam al Qur’an dan hadits.
2.            Bertawasullah kepada Rosullullah apabila hendak berdo’a kepada Allah agar seluruh permohonan kita mudah untuk di Kabul.

C.                PENUTUP
Dengan selesainya risalah ini, penulis tak lupa memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT karena hanya dengan pertolongan darinyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan risalah ini. Dan mudah-mudahan risalah yang telah penulis selesaikan ini diberikan kemanfaatan sehingga mendapat nilai pahala.
Akan tetapi dengan selesainya risalah ini pula tentunya banyak sekali kekurangan yang dapat terlihan dan nampak pada risalah ini karena semua hal yang telah sempurna pasti akan nampaklah kekurangannya.
karena itu penulis sangat berharap khususnya kepada pembimbing dan kepada semua pmbaca untuk memberiakan kritik dan saran, sehingga risalah ini mendapatkan penambahan yang nantinya dapat menuai hasil yang sempurna, karena penulis menyadari bahwa penulisan risalah ini masih banyak sekali kekurangan di dalamnya. Hal ini di sebabkan karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis yang tidak pernah dari kekurangan dan kesalahan.
Penulis berharap dengan perantaraan risalah ini akan memberikan manfaat bagi penulis sendiri pada khususnya dan para pembaca pada umumnya, dengan mengaflikasikan isi dari risalah ini dalam membina keluarga dan anak.
                                                                             
Penulis
Agus Priyono











DAFTAR PUSTAKA
Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al Qur’an, Al Qur’an Dan Terjemahnya, ( Jakarta : Pustaka Al Kautsar ), 2009

Tri Rama, Kamus Besar BahAsa Inndonesia, (Surabaya : Karya Agung)

Balai Pustaka, kamus besar bahAsa Indonesia, (Jakarta : balai pustaka, 1990)

Munawwir Warson Achmad, Kamus Al Munawwir, (Surabaya : Pustaka Progressif, 1997), cet. IV

Narbuka Kholid, methodologi penelitian sosial  (semarang: fakultAs tarbiyah,IAIN wali songo 1989)

draws Jemes, kamus biologis (jakarta bina aksara,1988) cet II hal 488

Atsir Ibnul,  An-Nihayah fil Gharibil Hadiit wal Atsar (Kairo : Daar Al Hadits) Juz V

At Thobari Ibnu Jarir Imam, Tafsir Ath-Thabari,( Bairut : Daar Al Kutub Al Asriyah ), Juz. IV

Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, ( Bairut : Daar Al Kutub Al Asriyah ), Juz III,

Hafizh At Thabarani, Al Mu'jam Al Kabir dan Al Mu'jam Ash-Shaghir, ( Kairo : Maktabah Al ‘Ilmiyah ),

Syaikh Muhammad An Nawawi Al Jawi, Marrah Lubaid Tafsir An Nawawi, (Semarang : Thoha Putra ), Juz I

Habib ‘Ali bin Hasan Al Attas, khulashotul magnam Wa bughyatul Muhtam, ( benda : pustaka Al Hikmah )

Musnad Ahmad, ( kairo : Daar Al Hadits ), juz. IV, hadits ke 3712

Imam Al Bukhori, Shohih Al Bukhori, ( Beirut: Dâr Ibnu Kaşir al-Yamâmah ), juz. II,

Imam Muslim, Shohih Muslim, ( Beirut: Dâr Ibnu Kaşir al-Yamâmah ), juz, II

Ibnu Muflih al Hanbali, Al Furuu’,  ( Bairut : Darul Kitab Ilmiyah ), juz. 1

Al Imam al Buhuti al Hanbali, Kasysyaf al Qina’,( Bairut : Darul Kutub Al Ilmiyah ), juz 2

Syekh ‘Ala-uddin al Mardawi al Hanbali, Al Inshaaf (Bairut : Darul Kutub Al Ilmiyah (, juz 2

Al Hafizh Murtadla az-Zabidi, Syarh al Ihya’, ( makkah : darrul ilmi ), juz. 10

Imam As-Suyuthi, Thabaqaat al Huffazh,  ( kairo : daar Al Hadits), hal. 61

Abdullah ibn al Imam Ahmad Al ‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal, ( kairo : Daar Al Hadits ), juz. 1

Al Hafizh Al-Lughawi Murtadla az-Zabidi, Syarh al Ihya, juz. 5,

Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, ( Bairut : Daar Al Kutub Al Asriyah ), Juz III,











DAFTAR RIWAYAT HIDUP


Nama                                       : Agus Priyono
Tempat, Tanggal Lahir            : Banyumas, 17 Agustus 1986
Alamat                                    : Ds. Jatisaba Kec. Cilongok Kab. Banyumas
Orang Tua
Ayah                          : Miardi
Ibu                               : Siwen
Pendidikan                              : MI Jatisaba Lulus 1999
              SMP N 2 Purwojati Lulus Tahun 2002
Paket C setara SLTA di Banyuwangi Lulus Tahun 2006
Tahun 2008 tercatat sebagi mahasiswa Ma’had ‘Aly Al Hikmah 02 Benda sampai tahun 2010



[1] Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al Qur’an, Al Qur’an Dan Terjemahnya, ( Jakarta : Pustaka Al Kautsar ), 2009, hal. 331
[2] Ibid, hal. 420
[3] Tri Rama, Kamus Besar BahAsa Inndonesia, (Surabaya : Karya Agung), hal. 150
[4] Balai Pustaka, kamus besar bahAsa Indonesia, (Jakarta : balai pustaka, 1990), hal. 30
[5] Achmad Warson Munawwir, Kamus Al Munawwir, (Surabaya : Pustaka Progressif, 1997), cet. IV, hal. 1562
[6] Kifayatul adzkiya, hal 25-32
[7] Kholid nuar buka, methodologi penelitian sosial  (semarang: fakultAs tarbiyah,IAIN wali songo 1989) hal.137
[8] Jemes draws, kamus biologis (jakarta bina aksara,1988) cet II hal 488
[9] Tim penyusun kamus,loc.cit, hal. 197
[10] Ibnul Atsir,  An-Nihayah fil Gharibil Hadiit wal Atsar (Kairo : Daar Al Hadits) Juz V,  hal.185.
[11] Imam Ibnu Jarir At Thobari, Tafsir Ath-Thabari,( Bairut : Daar Al Kutub Al Asriyah ), Juz. IV, hal. 567
[12] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, ( Bairut : Daar Al Kutub Al Asriyah ), Juz III, hal. 103
[13] Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al Qur’an, Al Qur’an Dan Terjemahnya, ( Jakarta : Pustaka Al Kautsar ), 2009, Hal. 113
[14]Of cit, hal. 157
[15] Of cit, hal. 7
[16] Al Hafizh At Thabarani, Al Mu'jam Al Kabir dan Al Mu'jam Ash-Shaghir, ( Kairo : Maktabah Al ‘Ilmiyah ), hal. 104/203
[17] Loc Cit, Hal. 88
[18] Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al Qur’an, Al Qur’an Dan Terjemahnya, ( Jakarta : Pustaka Al Kautsar ), 2009, Hal. 113
[19] Syaikh Muhammad An Nawawi Al Jawi, Marrah Lubaid Tafsir An Nawawi, (Semarang : Thoha Putra ), Juz I, Hal 202
[20] Loc Cit, Hal 174
[21] Habib ‘Ali bin Hasan Al Attas, khulashotul magnam Wa bughyatul Muhtam, ( benda : pustaka Al Hikmah ),hal. 10
[22] Musnad Ahmad, ( kairo : Daar Al Hadits ), juz. IV, hadits ke 3712, hal. 175
[24] Loc cit, hal. 76
[25] Loc cit, hal 330
[26] Imam Al Bukhori, Shohih Al Bukhori, ( Beirut: Dâr Ibnu Kaşir al-Yamâmah ), juz. II, hal 57
[27] Loc cit, hal.56
[28] Loc cit, hal. 248

[29] Loc cit, hal. 88
[30] Ibnu Muflih al Hanbali, Al Furuu’,  ( Bairut : Darul Kitab Ilmiyah ), juz. 1, hal. 595
[31] Al Imam al Buhuti al Hanbali, Kasysyaf al Qina’,( Bairut : Darul Kutub Al Ilmiyah ), juz 2, hal. 69

[32] Syekh ‘Ala-uddin al Mardawi al Hanbali, Al Inshaaf (Bairut : Darul Kutub Al Ilmiyah (, juz 2, hal. 456

[33] al Hafizh Murtadla az-Zabidi, Syarh al Ihya’, ( makkah : darrul ilmi ), juz. 10, hal. 130
[34] Imam As-Suyuthi, Thabaqaat al Huffazh,  ( kairo : daar Al Hadits), hal. 61
[35] Abdullah ibn al Imam Ahmad Al ‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal, ( kairo : Daar Al Hadits ), juz. 1, hal. 163-164

[36] Imam ibnu huzaimah, Shahih Ibn Khuzaimah hadits no.1219 Mustadrak ala shahihain hadits no.1180
[37] Imam As-Sunni, 'Amal al Yaum wa al-laylah,
[38] Al Hafizh Al-Lughawi Murtadla az-Zabidi, Syarh al Ihya, juz. 5, hal. 89

[39] Imam Ahmad, Al Musnad
[40] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, ( Bairut : Daar Al Kutub Al Asriyah ), Juz III, hal. 103

1 komentar:

  1. Solusi yang tepat jangan anda putus asah... KI .angen jallo akan membantu anda semua dengan Angka ritual/GHOIB: butuh angka togel 2D 3D 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin 100% jebol Apabila ada waktu silahkan Hub: KI RONGGENG DI NO: [[[ 085-283 790 444 ]]] ANGKA GHOIB: SINGAPUR 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB: HONGKONG 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB; TEXAS ANGKA GHOIB; TOTO/ MAGNUM 4D/5D/6D/ ANGKA GHOIB; LAOS/JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 20 X TERBUKTI
    TRIM’S ROO,MX SOBAT






    Solusi yang tepat jangan anda putus asah... KI .angen jallo akan membantu anda semua dengan Angka ritual/GHOIB: butuh angka togel 2D 3D 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin 100% jebol Apabila ada waktu silahkan Hub: KI RONGGENG DI NO: [[[ 085-283 790 444 ]]] ANGKA GHOIB: SINGAPUR 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB: HONGKONG 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB; TEXAS ANGKA GHOIB; TOTO/ MAGNUM 4D/5D/6D/ ANGKA GHOIB; LAOS/JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 20 X TERBUKTI
    TRIM’S ROO,MX SOBAT






    Solusi yang tepat jangan anda putus asah... KI .angen jallo akan membantu anda semua dengan Angka ritual/GHOIB: butuh angka togel 2D 3D 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin 100% jebol Apabila ada waktu silahkan Hub: KI RONGGENG DI NO: [[[ 085-283 790 444 ]]] ANGKA GHOIB: SINGAPUR 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB: HONGKONG 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB; TEXAS ANGKA GHOIB; TOTO/ MAGNUM 4D/5D/6D/ ANGKA GHOIB; LAOS/JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 20 X TERBUKTI
    TRIM’S ROO,MX SOBAT




    Solusi yang tepat jangan anda putus asah... KI .angen jallo akan membantu anda semua dengan Angka ritual/GHOIB: butuh angka togel 2D 3D 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin 100% jebol Apabila ada waktu silahkan Hub: KI RONGGENG DI NO: [[[ 085-283 790 444 ]]] ANGKA GHOIB: SINGAPUR 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB: HONGKONG 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB; TEXAS ANGKA GHOIB; TOTO/ MAGNUM 4D/5D/6D/ ANGKA GHOIB; LAOS/JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 20 X TERBUKTI
    TRIM’S ROO,MX SOBAT






    Solusi yang tepat jangan anda putus asah... KI .angen jallo akan membantu anda semua dengan Angka ritual/GHOIB: butuh angka togel 2D 3D 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin 100% jebol Apabila ada waktu silahkan Hub: KI RONGGENG DI NO: [[[ 085-283 790 444 ]]] ANGKA GHOIB: SINGAPUR 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB: HONGKONG 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB; TEXAS ANGKA GHOIB; TOTO/ MAGNUM 4D/5D/6D/ ANGKA GHOIB; LAOS/JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 20 X TERBUKTI
    TRIM’S ROO,MX SOBAT






    Solusi yang tepat jangan anda putus asah... KI .angen jallo akan membantu anda semua dengan Angka ritual/GHOIB: butuh angka togel 2D 3D 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin 100% jebol Apabila ada waktu silahkan Hub: KI RONGGENG DI NO: [[[ 085-283 790 444 ]]] ANGKA GHOIB: SINGAPUR 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB: HONGKONG 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB; TEXAS ANGKA GHOIB; TOTO/ MAGNUM 4D/5D/6D/ ANGKA GHOIB; LAOS/JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 20 X TERBUKTI
    TRIM’S ROO,MX SOBAT

    BalasHapus