BAB I
PENDAHULUAH
A.
Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama yang di bawa
oleh nabi Muhammad saw setelah sekian lama kehidupan umat tidak memiliki seseorang
yang menjadi panutan dan suri tauladan sehingga pada zaman itu kehidupan umat
mulai berjalan sesuai dengan apa yang di kehendakinya masing-masing. Pada zaman
ini manusia berada dikurun yang di sebut dengan zaman jahiliyah, kata jahiliyah
berasal dari bahasa arab yaitu katu “Jahilun” yang berarti orang yang
bodoh kemudian kata ini di tambah dengan ya nisbat yang menjadikan lafadz
tersebut berarti bangsa kebodohan.
Walaupun demikian bukan berarti kehidupan orang-orang di masa itu adalah
orang-orang yang bodoh melainkan kurang adanya budi pekerti dan akhlak yang baik
yang dimiliki umat oleh karenanya umat di kala itu melakukan apa saja yang
dikehendaki tanpa ada penalaran secara akal persis seperti yang di lakukan oleh
orang yang bodoh oleh karenanya zaman itu di namakan zaman jahiliyah.
Kemudian di utuslah nabi Muhammad saw dengan
membawa ajaran agama islam dari situlah kemudian perlahan lahan keadaan umat
mulai memeluk ajaran agama islam yang di bawa oleh nabi Muhammad saw. Hal ini sesuai apa yang telah di sebutkan dalam
al Qur’an bahwa di utusnya nabi Muhammad saw ke dunia ini menjadi rohmat bagi alam
semesta sebagaimana ayat di bawah ini :
وماارسلناك الا رحمة للعالمين
“Dan kami
tidak mengutus engkau ( Muhammad ) melainkan untuk ( menjadi ) rohamat bagi
seluruh alam.” ( Qs. Al anbiya : 107 )[1]
Selain itu keberadaan nabi Muhammad juga sebagai
seri tuladan bagi seluruh umatnya sebagaimana di sebutkan dalam Al Qur’an Surat
Al Ahzab ayat 21 :
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé&
×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sur ©!$# #ZÏVx. ÇËÊÈ
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah.”(Q.S. Al-Ahzab:21)[2]
Akan tetapi dengan beberapa ayat
di atas manusia yang hidup di dunia tentu belum puas dengan kehadiran islam yang
di bawa oleh rosulullah saw sehingga tak sedikit orang muslim yang memiliki kefahaman
yang dangkal dalam agama tetapi memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi seorang
pemimpin sehingga terkadang orang tersebut membuat ajaran yang baru yang terkadang
sering mempermasalahkan tradisi islam yang sudah ada yang tidak sefaham dengan
dirinya.
Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi banyak
ajaran agama islam yang sering mengatakan kata-kata bid’ah seperti dalam mmasalah
tawassul. Padahal sebelumnya Tidak satupun orang
muslim yang menentang di perbolehkanya tawassul.
Bertawasul merupakan cara berdoa dan satu diantara pintu-pintu menghadap Alloh SWT
dengan menggunakan perantara (wasilah )
tujuan hakiki tawasul adalah Alloh dan yang dijadikan tawasul
adalah hanya perantara untuk mendekatkan diri kepada Alloh. Orang bertawasul
tidak lain karena mencintai apa yang di jadikan tawasul, di samping percaya bahwa Alloh swt juga mencintai apa yang di jadikan tawasul
itu.
Secara semantik tawasul merupakan mengambil sesuatu perantara yang dapat
di jadikan perantara untuk mendekatkan diri kepada Alloh SWT guna memperoleh atau
memperoleh sesuatu yang diharapkan dari Nya. Secara garis besar bertawasul dapat
dilakukan dengan beberapa cara baik berupa
tindakan-tindakan, melalui doa, melalui sifat-sifat dan nama-nama
Alloh (Asma’ul khusna ) , dengan syafaat nabi muhammad saw, atau melalui
cara yang alin seperti panggilan kepada orang-orang yang alim.
Sebenarnya ajaran tawasul sudah ada
sejak manusia pertama yaitu nabiyulloh Adam di mana ketika mau mendekati siti Hawa
tidak di perkenankan oleh Alloh sebelum sah menjadi istrinya. Dan ketika proses
pernikahan antara nabi Adam dan Hawa yang dijadikan maharnya adalah sholawat kepada
baginda rosul, walaupun Rosulullah pada
waktu itu belum lahir kedunia namun nur kenabianya sudah ada di lauh mahfud.
Contoh lain ketika habil dan qobil di perintah untuk mendekatkan diri kepada Alloh,
mereka berdua mendekat kepada Alloh dengan
hAsil pertanianya mAsing-mAsing. Dan mAsih banyak contoh yang lain. Ini
membuktikan bahwa tawasul merupakan hal penting bagi kita sebagi orang awam.
Sebagai contoh yang mungkin bisa dicerna oleh akal pikiran kita, yaitu bagi
seseorang yang ingin di terima untuk bekerja pada sebuah perusahaan dimana ia
belum kenal sebelumnya, tapi dengan lantaran teman yang ada pada perusahaan
tersebut maka di terimalah ia menjadi kariawan pada perusahan yang di tuju.
Dari latar belakang itulah maka
penulis merAsa perlu untuk mengkaji lebih dalam tentang bertawasul yaitu dengan
judul “Kajian Analilis Bertawassul Dalam Hadist Shohih
Muslim”
B.
Alasan Pemilihan
Judul
BerdAsarkan latar belang diatAs penulis
tertarik untuk menulis risalah dengan judul “Kajian Analilis Bertawassul Dalam Hadist
Shohih Muslim” dengan beberapa alAsan diantaranya :
1.
Banyak manusia yang salah memahami
pengertian tawassul yang sebenarnya sehingga banyak orang yang sampai mengatakan
haram bahkan sampai mengkafir-kafirkan seseorang yang bertawassul kepada selain
Allah.
2.
Supaya jangan sampai diantara umat islam
itu salah langkah dalam mendekatkan diri kepada Alloh.
3. Agar umat islam
mengetahui hukum bertawassul yang sebenarnya. Serta mempunyai dalil baik dari al-qur’an
ataupun hadits tanpa mudah mengatakan kata-kata bid’ah bahkan haram dan kafir.
C.
Pembatasan dan perumusan
masalah
1.
Pembatasan masalah
Manusia merupakan makhluk yang sempurna sehingga manusia memiliki
kewajiban kepada allah swt berupa beribadah baik diwaktu pagi maupun di waktu malam,
disamping itu manusia juga termasuk yang lemah yang tidak dapat melakukan apapun
kecuali dengan memohon pertolongan dari Allah SWT dengan berdo’a. Sebagi makhluk
yang penuh dosa tentunya sangatlah hina apabila hendak memohon kepada allah tanpa
adanya perantara oleh karena itu perlu adanya tawassul dengan rosulullah dan orang-orang
alim dengan harapan permohonan seseorang mudah untuk terkabul. Selanjutnya
merupakan suatu keharusan bagi penulis untuk membatasi
pembahasan
dalam risalah ini hanya pada ruang lingkup judul risalah saja. Hal ini di karenakan untuk menghindari adanya
pembahasan
yang terlalu bertele-tele dan dapat menyebabkan bosan bagi para pembaca. Selanjutnya
penulis akan mendefinisikan istilah dalam judul agar tidak menyebabkan kesalahfahaman
dari materi yang akan di sampaikan.
a.
Kajian dan Analilis
Berasal dari kata kaji yang berarti pelajaran, mendapat akhiran (-an) yang
kemudian berarti mempelajari (mendalami) sesuatu.[3]
Kajian adalah mempelajari sesuatu secara mendalam. Sedangkan kata Analisis,
menurut kamus besar bahasa indonesia adalah suatu penyelidikan terhadap suatu
peristiwa (karangan) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya atau sabab musababnya.[4]
b.
Tawassul
Dalam kamus Al Munawwir kata tawassul berAsal dari bahasa arab yaitu dari
fiil madiوسل yang berarti perantara.[5]
Dengan demikian merupakan harapan setiap manusia ketika memohon dan berdo’a kepada
Allah adalah diterima dan sampai do’anya kepada Allah.
2
Perumusan masalah
Dari
uraian mengenai pemilihan judul dan pembahasan masalah diatas, maka muncul permasalahan
yang dapat di rumuskan sebagai berikut :
a)
Apakah Yang dinamakan
Tawassul ?
b)
Bagaimana hukum bertawasul menurut hadist shohih
muslim ?
D.
Tujuan dan Kontribusi Penulis
1. Tujuan penulisan
Di latar belakangi oleh alAsan pemilihan judul diatAs maka tujuan
penulisn risalaah ini adalah :
a) Untuk Mengetahui apa yang dinamakan tawassul
b)
Untuk Mengetahui Hukum Bertawasul Menurut Hadist Shohih
Muslim Tujuan Penulis
2.
Kontribusi Penulis
a.
Pribadi Penulis
Sebagai wawasan dan bekal
untuk mAsa depan setelah terjun di mAsyarakat agar dapat memberikan jawaban kepada
orang-orang yang anti bahkan kurang setuju dengan adanya tawassul.
b.
MAsyarakat
mengharapkan dapat memberikan perubahan kepada mayarakat luas setidaknya
mereka paham akan arti tawasul itu
sendiri, dan mudah-mudahan dapat dimanfaatkan bagi yang lain setidaknya demi
menjaga kelestarian sunah itu sendiri
sunah yang diumpamakan obat yang dapat memberikan pencerahan kepada hati dan
setiap sunah memiliki rahAsia.[6]
E.
Metodologi Penulisan
Untuk
mencapai maksud dalam risalah ini dengan menggunakan stadi kepustakan yaitu
dengan cara membaca dan memahami literatur-literatur yang berkaitan dengan
judul yang menjadi pembahAsan .
1
Sumber Data
Sebagi
langkah awal penulisan, sumber data dicari terlebih dahulu sebagai mana menurut
sutrisno hadi dalam buku methodologi
reseach di uraikan yang mana hal ini melalui studi literature atau library receach yaitu methode yang dilakukan
dengan cara memilih buku-buku atau literature
yang berkaitan dengan risalah.
2
Pengumpulan materi
Methode
pengumpulan data yang di gunakan adalah methoe observasi yaitu penelitian pengamatan
yang di catat secara sistematis atau fenomena, fenomena yang telah di selidiki[7].
kemudian diadakan penyeleksian berdasarkan
sumber-sumber yang berhubungan dengan tema rialah.
1.
Analisis
Tujuan
methode ini adalah untuk memberikan pedapat
atau pendangan terhadap data yang telah di seleksi, kemudin data-data tersebut
di golongkan menjadi kualifikasi yang di uraikan pada pola pikir logis melalu
pendekatan sebagi berikut:
a.
Induktif
yakni
pengambilan kesimpulan, berdasarkan pada keadaan yang khusus untuk di perlakukan
secara umum.[8]
dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran yang jelas dari data yang khusus
kemudoian di jadikan kesimpulan umum’
b.
Deduktif
pengambilan
kesimpulan dari keadaan yang umum[9]
c.
Komparatif
methode ini di
gunakan untuk menganalilis perbedaan perbedaan masalah yang terdapat diantara satu
pendapat denagn pendapat yang lain dalam penelitian. Selanjutnya diambil dri satu
kesimpulan denagn mengadakan perbandingan dari berbagai masalah, kemudin dimbil
satu atau diadakan kompromi ntar masalah, selain itu juga menggunakan pendekatan
historis.
E. Sistematika Penyusunan
Untuk mempermudah dalam mempelajarai isi dari Risalah ini, maka penulis menyusun urutan dalam sistematika
yang terdiri dari lima bab dengan
sistematika penyususunan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Untuk mempermudah dalam proses topik atau gagasan
yang menjadi pembahasan, maka dengan
demikian pada bab ini terdiri atas
sub bab yang terdiri dari Latar Belakang, Alasan
Pemilihan Judul, Tujuan Dan Kontribusi Penulisan, Pembatasan
Dan Perumusan Masalah, Metode Penulisan Dan Sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG TAWASSUL
Dalam bab ini,
terbagi manjadi tiga sub pokok bahasan
yaitu definisi tawasul, hukum tawassul dan tujuan bertawasul.
BAB III GAMBARAAN UMUM TENTANG HADIST TAWASSUL
Dalam bab tiga terdapat dua pokok
sub bahasan yaitu macam-macam tawassul, hadist-hadist tawassul dan dalil-dalil
al qur’an tentang tawassul
BAB VI KAJIAN ANALILIS BERTAWASSUL DALAM HADIST SHOHIH MUSLIM
PembahAsan
bab empat adalah inti dari permsalahan yang
meliputi tinjauan
hukum bertawasul dalam kitab shohih muslim, yang meliputi sub bab yaitu hukum
bertawasul dan analilis hadist tentang tawsul dalam kitab shohih muslim
BAB V PENUTUP
Bab
ini berisi Kesimpulan, Saran-Saran, Penutup, Dan Sebagai Pelengkap Pada Bagian Akhir
Dicantumkan Daftar Pustaka Dan Daftar Riwayat Hidup Penulis.
BAB
II
TINJAUAN UMUM TENTANG TAWASUL
A.
Definisi Tawasul
Tawassul atau wasilah artinya adalah mengerjakan sesuatu amal yang dapat mendekatkan
diri kita pada Tuhan. Tawassul juga diperbolehkan dalam berdoa, malah hal ini akan
lebih membuat doa tersebut makbul.
Tawassul
adalah amalan sunat yang disukai oleh Allah. Buktinya adalah bahwa amalan tawassul ini disebutkan dalam Al Quran
dan hadis,
serta menjadi amalan para sahabat, tabiin,
dan tabiut tabiin. Do'a/permintaan melalui tawasul insya Allah lebih mudah dikabulkan.
Tawassul (wasilah) adalah
salah satu metode untuk menjadi orang bertaqwa.
Sejarah menunjukkan bahwa generAsi salafus soleh adalah orang-orang yang sangat
kuat mengamalkan tawasul.
Tawassul
adalah mengambil sarana/wasilah agar do’a atau ibadahnya dapat lebih diterima dan
dikabulkan. Al-wasilah menurut bahAsa berarti segala hal yang dapat menyampaikan
dan mendekatkan kepada sesuatu. Bentuk jamaknya adalah wasaa-il [10] Sedang menurut istilah syari’at,
al-wasilah yang diperintahkan dalam al-Qur’an adalah segala hal yang dapat
mendekatkan seseorang kepada Allah Ta’ala, yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan.[11]
dalam
istilah syara’ yang di maksud dengan tawassul adalah :
"طَلَبُ
حُصُوْلِ مَنْفَعَةٍ أَوْ انْدِفَاعِ مَضَرَّةٍ مِنَ اللهِ بِذِكْرِ اسْمِ نَبِيٍّ أَوْ وَلِيٍّ إِكْرَامًا
لِلْمُتَوَسَّلِ بِهِ".
“Memohon
datangnya manfa’at (kebaikan) atau dihindarkan dari mara bahaya (keburukan) dari
Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya”.[12]
Dengan
itu maka akan mulai mengkaji apa sebenarnya makna tawassul itu dan bagaimana yang
disyari’atkan serta yang bagaimana yang terlarang. Tentunya agar kita tidak
terjerumus ke dalamnya tanpa kita sadari karena kejahilan pada diri kita.
Firman Allah Swt :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ
وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diti kepadaNya, dan
berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya agar kamu beruntung.” (Qs.Al-Maidah:35)[13]
Mengenai
ayat diatas Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu berkata,”Makna wasilah dalam ayat
tersebut adalah al-qurbah (peribadatan yang dapat mendekatkan diri kepada
Allah).”
Demikian
pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Ibnu Wa’il, al-HAsan, ‘Abdullah bin Katsir,
As-Suddi, Ibnu Zaid, dan yang lainnya. Qatadah berkata tentang makna ayat
tersebut,”Mendekatlah kepada Allah dengan mentaati-Nya dan mengerjakan amalan yang
di ridhoi-Nya.”[14]
B.
Ide
Dasar Tawassul
Ide
dasar dari tawassul adalah sebagai berikut. Allah ta’ala telah menetapkan bahwa
biasanya urusan-urusan di dunia ini berdasarkan hukum kausalitas; sebab akibat.
Sebagai contoh; Allah ta’ala sesungguhnya maha kuasa untuk memberikan pahala
kepada manusia tanpa beramal sekalipun namun kenyataannya tidak demikian. Allah
memerintahkan manusia untuk beramal dan mencari hal-hal yang mendekatkan diri
kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman:
وَاسْتَعِينُوا
بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
Artinya :
“Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat,
dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang
khusyu’” (Q.S.
al Baqarah: 45)[15]
Ayat ini memerintahkan
untuk mencari segala hal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, artinya carilah
sebab-sebab tersebut, kerjakanlah sebab-sebab itu maka Allah akan mewujudkan akibatnya.
Allah akan memenuhi permohonan-permohonan dengan sebab-sebab tersebut, padahal
Ia maha kuasa untuk mewujudkan akibat-akibat tanpa sebab-sebab tersebut. Dan Allah
ta’ala telah menjadikan tawassul dengan para nabi dan wali sebagai salah satu
sebab dipenuhinya permohonan hamba, oleh karenanya kita bertawassul dengan para
nabi dan wali dengan harapan agar dikabulkan permohonan kita oleh Allah.
Jadi
tawassul adalah sebab syar’i yang menyebabkan dikabulkannya permohonan
seorang hamba. Tawassul dengan para nabi dan wali diperbolehkan baik di saat
mereka masih hidup atau sudah meninggal. Karena seorang mukmin yang bertawassul
keyakinannya adalah bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya
secara hakiki kecuali Allah. Para nabi dan para wali tidak lain hanyalah sebab
dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka.
Ketika seorang nabi atau wali masih hidup Allah yang mengabulkan permohonan hamba,
demikian pula setelah mereka meninggal Allah juga yang mengabulkan permohonan hamba,
bukan nabi atau wali itu sendiri. Mereka yang mengatakan tawassul hanya boleh
dengan orang yang masih hidup dan haram tawassul dengan nabi atau wali yang sudah
meninggal seakan mereka meyakini ta'tsir, penciptaan, pemberian
pertolongan dan menjauhkan dari mudlarat secara hakiki bagi nabi atau wali yang
masih hidup dan ini jelas batil. Karena yang menciptakan manfaat dan menjauhkan
dari mudlarat hanya-lah Allah, tidak ada pencipta selain Allah.
Sebagian
kalangan memiliki persepsi bahwa tawassul adalah memohon diciptakan manfaat dan
dijauhkan dari mudlarat kepada seorang nabi atau wali dengan keyakinan bahwa yang
mendatangkan bahaya dan manfa’at secara hakiki adalah seorang Nabi atau wali
tersebut. Persepsi yang keliru tentang tawassul ini kemudian membuat mereka
menghakimi orang yang bertawassul sebagai kafir musyrik. Padahal hakekat tawassul
sesungguhnya di kalangan orang-orang yang bertawassul adalah memohon datangnya
manfa’at (kebaikan) atau dihindarkan dari mara bahaya (keburukan) dari Allah
dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram)
keduanya.
Orang
yang bertawassul adalah seperti orang yang sakit pergi ke dokter dan meminum obat
agar diberikan kesembuhan oleh Allah, meskipun keyakinannya pencipta kesembuhan
adalah Allah sedangkan obat hanyalah sebab kesembuhan. Jika obat dalam contoh
ini adalah sabab ‘aadi, maka tawassul adalah sabab syar’i. Seandainya
tawassul bukan sebab syar’i, maka Rasulullah tidak akan mengajarkan orang buta
(yang datang kepadanya) agar bertawassul dengannya. Dalam hadits shahih bahwa Rasulullah
shallallahu 'alayhi wasallam mengajarkan kepada seorang buta untuk
berdo'a
dengan
mengucapkan:
"اَللّهُمَّ
إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ
الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ
لِتُقْضَى لِيْ".
"Ya Allah aku
memohon dan memanjatkan do'a kepada-Mu dengan Nabi kami Muhammad; Nabi pembawa
rahmat, wahai Muhammad, sesungguhnya aku memohon kepada Allah dengan engkau
berkait dengan hajatku agar dikabulkan".[16]
Orang
tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah ini. Orang ini adalah seorang buta yang
ingin diberi kesembuhan dari butanya, akhirnya ia diberikan kesembuhan oleh Allah
di belakang Rasulullah (tidak di hadapan Rasulullah) dan kembali ke majelis Rasulullah
dalam keadaan sembuh dan bisa melihat. Seorang sahabat lain -yang menyaksikan langsung
peristiwa ini, karena pada saat itu ia berada di majelis Rasulullah- mengajarkan
petunjuk ini kepada orang lain pada masa khalifah Utsman ibn 'Affan yang tengah
mengajukan permohonan kepada khalifah Utsman. Pada saat itu Sayyidina Utsman
sedang sibuk dan tidak sempat memperhatikan orang ini. Maka orang ini melakukan
hal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang buta pada masa Rasulullah
tersebut. Setelah itu ia mendatangi Utsman ibn 'Affan dan akhirnya ia disambut
oleh khalifah 'Utsman dan dipenuhi permohonannya. Umat Islam selanjutnya senantiasa
menyebutkan hadits ini dan mengamalkan isinya hingga sekarang. Para ahli hadits
juga menuliskan hadits ini dalam karya-karya mereka seperti al Hafizh at Thabarani
– beliau menyatakan dalam "al Mu'jam al Kabir" dan "al
Mu'jam ash-Shaghir": "Hadits ini shahih"-,
al Hafizh at-Turmudzi dari kalangan ahli hadits mutaqaddimin, juga al Hafizh
an-Nawawi, al Hafizh Ibn al Jazari dan ulama muta-akhkhirin yang lain.
Hadits
ini adalah dalil diperbolehkannya bertawassul dengan Nabi shallallahu 'alayhi
wasallam pada saat Nabi masih hidup di belakangnya (tidak di hadapannya). Hadits
ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan Nabi setelah beliau wafat
seperti diajarkan oleh perawi hadits tersebut, yaitu sahabat Utsman ibn Hunayf
kepada tamu sayyidina Utsman, karena memang hadits ini tidak hanya berlaku pada
masa Nabi hidup tetapi berlaku selamanya dan tidak ada yang menasakhnya.
C.
Tujuan
Bertawasul
Sebagimana ayat-ayat
di atas tawassul telah di lakukan oleh umat para nabi sebelum nabi muhammmad Saw.
Oleh karenanya Rasulullahpun menganjurkan umatnya untuk melakukan tawassul.
Dalam
surat an-Nisa' ayat 64, Allah swt. berfirman:
وما
ارسلنا من رسول الا ليطاع باذن الله ولو انهم اذ ظلموا انفسهم جاءواك فاستغفروا
الله واستغفرلهم الرسول لوجدوا الله توابا رحيما
Artinya :
“Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul
melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika
menganiaya dirinya datang kepadamu (Muhammad saw) lalu
memohon ampun kepada Allah, dan Rasul (Muhammad Saw) pun memohonkan
ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang.”(Qs.An Nisa': 64)[17]
Dari
ayat di atAs juga dapat diambil pelajaran yang esensial yaitu bahwa, Rasululah
saw. sebagai makhluk Allah yang terkasih dan memiliki kedudukan (jah/maqom/wajih)
yang sangat tinggi di sisi Allah sehingga diberi otoritas oleh Allah swt. untuk
menjadi perantara (wasilah) dan tempat meminta pertolongan (istighotsah)
kepada Allah swt..
Semua
ahli tafsir al-Qur'an termAsuk MufAsir Salafi/Wahabi setuju bahwa ayat An-Nisa:
64 itu diturunkan ketika suatu saat sebagian sahabat melakukan kesalahan. Yang kemudian
mereka sadar atAs kesalahannya dan ingin bertaubat. Dan mereka meminta ampun
secara langsung kepada Allah, tapi lihat bagaimana Allah swt. telah meresponnya:
1.
Allah
menolak untuk menerima permohonan ampun secara langsung, Dia memerintahkan
mereka untuk terlebih dahulu mendatangi RAsulallah saw dan kemudian memintakan ampun
kepada Allah swt, dan Rasulallah saw. juga diminta untuk memintakan ampun buat
mereka. Dengan demikian RAsulallah saw. bisa dijuluki sebagai Pengampun dosa
secara kiasan /majazi sedangkan Allah swt. sebagai Pengampun dosa yang hakiki
/sebenarnya.
2.
Allah
memerintahkan sahabat untuk bersikap seperti yang diperintahkan (menyertakan Rasulallah saw. dalam
permohonan ampun mereka) hanya setelah melakukan ini mereka akan benar-benar
mendapat pengampunan dari Yang Maha Penyayang.
BAB III
GAMBARAAN UMUM TENTANG TAWASSUL,
A.
Tawassul dalam al qur’an
Kata-kata
tawassul yang telah menjadi tradisi umat islam dari zaman para sahabat sampai
sekarang tentu merupakan suatu tradisi yang di benarkan oleh agama hal ini di karenakan
tawassul bukanlah suatu hal yang bersifat baru ataupun sering di sebut dengan
istilah Bid’ah.
Perkataan seseorang yang sering
mengatakan bahwa tawassul adalah suatu hal yang bersifat bid’ah di sebabkan orang
tersebut memiliki pemahaman yang salah tentang tawassul, oleh karena itu pada bab
ini penulis akan menjabarkan tentang apa yang di maksud dengan tawassul tyang
terdapat dalam al qur’an.
Dalam Al Qur’an surat Al Maidah Ayat 35 Allah swt berfirman :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ
وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diti kepadaNya, dan
berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya agar kamu beruntung.” (Qs.Al-Maidah:35)[18]
Dalam tafsir munir imam nawawi menafsiri ayat di sebagi berikut :
Pertama pada kata-kata اتقوا الله yang berarti bertakwalah kepada allah atau takutlah
kepada allah di tafsiri dengan kata-kata بترك المنهيات yaitu dengan meninggalkan
seluruh larangan-larangan Allah. Dengan demikian apabila orang merasa dirinya
bertakwa kepada maka harus mampu menahan hawa nafsunya untuk meninggalkan semua
larangan-larangannya.
Kedua, pada kata وابتغوا اليه الوسيلة yang berarti dan carilah perantara untuk
menuju ridho Allah kemudian di tafsiri oleh imam nawawi dengan kata بفعل المأمورات yaitu dengan cara melaksanakan perintah-perintahnya.
Dengan kata lain apabila orang ingin menuju jalan keridhoan Allah maka orang
tersebut harus mampu untuk melaksanakan seluruh apa yang menjadi perintah-perintah
Allah.
Ketiga, pada kata وجاهدوا في سبيله yang berarti dan berjihadlah di jalannya
kemudian di tafsiri dengan kata اي في سبيل عبوديته
وطريق الاخلاص في معرفته وخدمته yaitu di jalan kehambaannya dan jalan ikhlas dalam
berma’rifat dengannya dan berkhidmah kepadanya. Ketiga hal ini diperintahkan
oleh allah swt kepada seluruh orang-orang yang beriman dengan satu natijah atau
tujuan yaitu لعلكم تفلحون yaitu agar menjadi orang yang berbahagia dengan memperoleh
ridhonya dan bahagia dengan kemuliaan yang Allah berikan kepadanya. [19]
Dari uraian tafsir di atas penulis
dapat menyimpulkan bahwasannya wasilah adalah suatu perantara yang akan menjadikan
keberhasilan atau kemuliaan seseorang yang secara gamblang imam nawawi menafsiri
wasilah dengan kata “bifi’lil ma’muroot” yang di maksud adalah tawassul atau
proses sampainya manusia kepada Allah harus dengan kontinyu dalam beribadah kepada
Allah.
B.
Macam-Macam
Tawassul
Tawassul
merupakan sarana mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya,
beribadah kepada-Nya, mengikuti petunjuk Rasul-Nya dan mengamalkan seluruh amalan
yang dicintai dan di ridhai-Nya, lebih jelsnya adalah melakukan suatu ibadah
dengan maksud mendapatkan keridhaan Allah swt.
Untuk
itulah disini dibahas tentang berbagai macam bentuk tawassul yang sudah tersebar
bahkan di lingkungan sekitar. Tawassul diperbolehkan menurut syar’i karena ini merupakan
suatu bentuk ibadah kepada Allah yang sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi kita
shallallahu’alaihi wa sallam.
Adapun
tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tertentu) ada tiga macam: tawassul
sunnah, tawassul bid’ah, dan tawassul syirik.
1.
Tawassul
Sunnah
a.
Bertawassul
dengan menyebut Asma’ul husna yang sesuai dengan hajatnya ketika berdo’a. Allah
Ta’ala berfirman,
ولله الاسماء
الحسني فادعوه بها وذروا الذين يلحدون في اسمائه سيجزون ماكانوا يعملون
“Hanya
milik Allah-lah Asma’ul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut Asma’ul
husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
menyebut nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balAsan terhadap apa yang telah
mereka kerjaan.” (Qs.Al-A’raf:180)[20]
bertawassul dengan menyebut nama-nama Allah seperti al Asma’ al
Husna atau menyebut sifat-sifat Allah. Seperti doa yang dianjurkan untuk dibaca
setelah menyebut al Asma’ al Husna:
"اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ
وَابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ
قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ
عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ
اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ القُرْءَانَ
رَيِيْعَ قَلْبِيْ وَنُوْرَ صَدْرِيْ وَجَلاَءَ حُزْنِيْ وَذَهَابَ هَمِّيْ".
"Ya Allah,
sungguh aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu yang laki-laki dan perempuan,
jiwaku ada dalam kekuasaan-Mu, ketetapan-Mu berlaku terhadapku, ketetapan-Mu bagiku
adalah adil. Aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama yang Engkau miliki, yang
Engkau namakan Dzat-Mu dengannya, atau Engkau beritahukan kepada salah seorang
hamba-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang hanya Engkau yang
mengetahuinya, (Aku memohon) jadikanlah al Qur'an sebagai isi dan penyemarak hatiku,
penerang bagi jiwaku, pengangkat kesedihanku dan penghilang kesusahanku".[21]
Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dalam do’anya,
“Ya
Allah, aku memohon kepada-Mu dengan seluruh nama-Mu, yang Engkau menamakan
diriMu dengan nama-nama tersebut, atau yang telah Engkau ajarkan kepada salah
seorang hambaMu, atau yang telah Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang mAsih
tersimpan di sisi-Mu.” (HR.Ahmad :3712)[22]
b.
Bertawassul
dengan sifat-sifat Allah Ta’ala. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dalam do’anya,
“Wahai
Dzat Yag Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri, hanyadengan RahmatMu lah aku ber
istighatsah, luruskanlah seluruh urusanku, dan janganlah Engkau serahkan aku
kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata.”
(HR. An-Nasa’i, Al-Bazzar dan Al-Hakim)[23]
c.
Bertawassul
dengan amal shalih
Sebagaimana
yang disebutkan dalam kitab shahih muslim, sebuah riwayat yang mengisahkan tentang
tiga orang yang terperangkap dalam gua. Lalu mAsing-mAsing bertawassul dengan amal
shalih mereka. Orang pertama bertawassul dengan amal shalihnya berupa memelihara
hak buruh. Orang ke dua bertawassul dengan baktinya kepada kedua orang tuanya.
Sedangkan orang ke tiga bertawassul dengan takutnya kepada Allah Ta’ala,
sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak dia lakukan. Akhirnya Allah Ta’ala
membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghalanginya, hingga mereka
bertiga pun akhirnya selamat. (HR.Muslim 7125)
d.
Bertawassul
dengan meminta doanya orang shalih yang mAsih hidup. Dalam sebuah hadits
diceritakan bahwa ada seorang buta yang datang menemui RAsulullah shallallahu’alaihi
wa sallam.
Orang
itu berkata, “Wahai RAsulullah, berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkanku
(sehingga aku bisa melihat kembali).”
RAsulullah
shallallahu’alaihi wa sallam menjawab, “Jika Engkau menghendaki aku akan
berdoa untukmu. Dan jika engkau menghendaki, bersabar itu lebih baik bagimu.”
Orang
tersebut tetap berkata,”Do’akanlah.”
Lalu
RAsulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyuruhnya berwudhu secara
sempurna lalu shalat dua raka’at, selanjutnya beliau menyuruhnya berdoa dengan
mengatakan,
“Ya
Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan aku menghadap kepada-Mu bersama
dengan nabi-Mu, Muhammad, seorang nabi yang membawa rahmat. Wahai Muhammad,
sesungguhnya aku menghadap bersamamu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, agar Dia
memenuhi untukku. Ya Allah jadikanlah ia pelengkap bagi (doa)ku, dan jadikanlah
aku pelengkap bagi (doa)nya.” Ia (perawi hadits) berkata,”Laki-laki itu kemudian
melakukannya, sehingga dia sembuh.” (HR.Ahmad dan Tirmidzi)
e.
Bertawassul
dengan keimanannya kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِياً
يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ آمِنُواْ بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ
لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ
“Ya Tuhan kami,
sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu),’Berimanlah
kamu kepada Tuhanmu’. Maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami
dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah
kami beserta orang-orang yang berbakti.” (Qs.Ali-Imran:193)[24]
f.
Bertawassul
dengan ketauhidannya kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ
مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن
لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ
الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ
“Dan (ingatlah
kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka
bahwa kami tidak akan mempersemptnya (menyulitkannya). Maka ia menyeru dalam keadaan
yang sangat gelap,’bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disebah) selain Engkau,
maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku adalah termAsuk orang-orang yang zalim.’ Maka
Kami telah memperkenankan do’anya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan
demikian Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (Qs.Al-Anbiya:87-88)[25]
2.
Tawassul
Bid’ah
a.
Tawassul
dengan kedudukan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam atau kedudukan orang
selain beliau.
Dalam
shahih Bukhari terdapat hadits,
عن انس
بن مالك ان عمر بن الخطاب رضي الله عنه كان اذا قحطوا استسقي بالعباس بن عبد
المطلب فقال اللهم انا كنا نتوسل اليك بنبينا فتسقينا وانا نتوسل اليك بعم نبينا
فاسقنا قال فيسقون ( رواه البخاري)
“Dari AnAs bin Malik,
bahwAsannya Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu jika terjadi kekeringan, maka
beliau berdo’a agar diturunkan hujan dengan bertawassul melalui perantaraan
(do’a) Al-‘AbbAs bin Abdul Muthallib. Umar berkata,’Ya Allah dahulu kami bertawassul
dengan nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada Kami. Dan sekarang kami
bertawassul dengan paman nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami’. Kemudian
turunlah hujan.” (HR.Bukhari: 1010)[26]
Maksud
bertawassul dengan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bukanlah “Bertawassul
dengan menyebut nama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam atau dengan
kedudukannya sebagaimana persangkaan sebagian orang. Akan tetapi maksudnya adalah
bertawassul dengan do’a Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Oleh karena
itu ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah wafat, para sahabat
tidak bertawassul dengan nama atau keddukan Nabi, akan tetapi bertawassul dengan
doa paman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam –yaitu ‘AbbAs- yang saat itu
mAsih hidup.
b.
Bertawassul
dengan cara menyebutkan nama atau kemuliaan orang shalih ketika berdo’a kepada Allah
Ta’ala.
Ini
adalah bid’ah bahkan perantara menuju kesyirikan. Contoh,”Ya Allah, aku
memohon kepada-Mu dengan kemuliaan Syaikh Abdul Qadir Jailani, ampunilah aku.”
c.
Bertawassul
dengan cara beribadah kepada Allah Ta’ala di sisi kubur orang shalih. Ini merupakan
bid’ah yang diada-adakan, dan bahkan merupakan perantara menuju kesyirikan.
3.
Tawassul
Syirik
Tawassul
yang syirik adalah menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara
dalam beribadah seperti berdoa kepada mereka, meminta hajat, atau memohon
pertolongan kepada mereka. Contoh,”Ya Sayyid Al-Badawi, mohonlah kepada Allah
untuk kami”.
Perbuatan
ini merupakan syirik akbar dan dosa besar yang paling besar, meskipun mereka
menamakannya dengan “tawassul”. Hukum syirik ini dilihat dari hakikatnya yaitu
berdo’a kepada selain Allah.
BAB VI
KAJIAN ANALILIS BERTAWASSUL DALAM HADIST SHOHIH MUSLIM
A.
Hukum
Bertawasul
Tawassul merupakan suatu
amalan yang menjadi sarana bagi umat muslim dengan harapan untuk memudahkan sampainya
suatu permohonan kepada Allah, oleh karena itu banyak Ayat-ayat Al Qur’an yang
di dalamnya menerangkan tentang anjuran untuk bertawassul di antaranya :
Dalam
Surat
Ali
Imran ayat 49 Allah Swt. Berfirman:
ورسولا الي بني اسرائيل اني قد
جئتكم بأية من ربكم أني أخلك لكم من الطين كهيئة الطير فانفخ فيه فيكون طيرا باذن
الله وابرئ الاكمه والابرص واحي الموتى باذن الله وانبئكم بما تأكلون وما تدخرون
في بيوتكم ان في ذلك لاية لكم ان كنتم مؤمنين
Artinya :
“Dan (sebagai)
RAsul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka) : ‘Sesungguhnya
aku (Nabi Isa As.) telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda
(mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk
burung, Kemudian aku meniupnya, Maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah;
dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit
sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan
kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya
pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerAsulanku) bagimu,
jika kamu sungguh-sungguh beriman' ”.(Qs. Ali Imran :49)[27]
Dalam
ayat di atAs disebutkan bahwa para pengikut Isa Al MAsih bertawassul kepadanya
untuk memenuhi hajat mereka, termAsuk menghidupkan orang mati, menyembuhkan yang
berpenyakit sopak dan buta. Tentu, mereka bertawassul kepada nabi Allah tadi bukan
karena mereka meyakini bahwa Isa al-Masih memiliki kekuatan dan kemampuan
secara independent dari kekuatan dan kemampuan Maha Sempurna Allah Swt, sehingga
tanpa bantuan Allah-pun Isa mampu melakukan semua hal tadi.
Tetapi
mereka meyakini bahwa Isa al-MAsih dapat melakukan semua itu (memenuhi berbagai
hajat mereka) karena Nabi Isa As. Memiliki ‘kedudukan khusus' ( jah/wajih)
di sisi Allah, sebagai kekAsih Allah, sehingga apa yang di inginkan olehnya
niscaya akan dikabulkan atau diizinkan oleh Allah swt. Ini bukanlah tergolong
syirik, karena syirik adalah; Meyakini kekuatan dan kemampuan Isa al-Masih
(makhluk Allah) secara independent (merdeka) dari kekuatan
dan kemampuan Allah”. Sudah tentu, muslimin sejati selalu yakin dan percaya
bahwa semua kekuatan dan kemampuan yang dimiliki oleh makhluk Allah swt. tidak akan
terjadi kecuali dengan izin Allah swt. Namun aneh jika kelompok Wahabi langsung
menvonis musyrik bagi pelaku tawassul/istighotsah kepada para kekasih Ilahi semacam itu.
Dalam
surat Yusuf ayat 97, Allah swt. berfirman:
قالوا
يا أبانا استغفر لنا ذنوبنا انا كنا خاطئين
Artinya :
“Mereka
berkata: ‘ Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa
kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).”(Qs.Yusuf :
97)[28]
Jika
kita teliti dari ayat ini maka akan dapat diambil pelajaran bahwa, para anak-anak
Ya'qub As. mereka tidak meminta pengampunan dari Ya'qub sendiri secara
independent tanpa melihat kemampuan dan otoritas mutlak Ilahi dalam hal pengampunan
dosa. Namun mereka jadikan ayah mereka yang tergolong kekasih Ilahi (nabi) yang
memiliki kedudukan khusus di mata Allah sebagai wasilah (sarana
penghubung) permohonan pengampunan dosa dari Allah swt. Dan ternyata, nabi Ya'qub
pun tidak menyatakan hal itu sebagai perbuatan syirik, atau memerintahkan anak-anaknya
agar langsung memohon kepada Allah swt, karena Allah Maha mendengarkan segala
per- mohonan dan do'a, malahan nabi Ya'qub As menjawab permohonan anak-anaknya
tadi dengan ungkapan:
قال
سوف استغفر لكم ربي انه هو الغفور الرحيم
Artinya :
“Ya'qub berkata: ‘ Aku akan memohonkan ampun
bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha penyayang'
”(QS Yusuf: 98).[29]
Dengan adanya ayat-ayat Al Qur’an di atas bisa di ambil
kesimpulan bahwasannya tawassul merupakan suatu perbuatan yang juga pernah di lakukan
oleh umat-umat nabi terdahu yang juga melakukan tawassul kepda nabinya masing-masing
sehingga hukum bertawassul sendiri adalah di benarkan adanya dan di anjurkan
oleh Allah Swt.
B.
Tawassul
Menurut Madzhab Empat
Masalah
tawassul dengan para nabi dan orang saleh ini hukumnya boleh dengan ijma' para
ulama Islam sebagaimana dinyatakan oleh ulama madzhab empat seperti al Mardawi al
Hanbali dalam Kitabnya al Inshaf, al Imam as-Subki asy-Syafi'i dalam kitabnya
Syifa as-Saqam, Mulla Ali al Qari al Hanafi dalam Syarh al Misykat,
Ibn al Hajj al Maliki dalam kitabnya al Madkhal.
1.
Ibnu
Muflih al Hanbali dalam kitabnya al Furuu’ mengatakan:
"وَيَجُوْزُ
التَّوَسُّلُ بِصَالِحٍ، وَقِيْلَ: يُسْتَحَبُّ".
3.
Al Imam al Buhuti al Hanbali mengatakan dalam kitab Kasysyaf
al Qina’ :
وَقَالَ السَّامِرِيُّ وَصَاحِبُ التَّلْخِيْصِ: لاَ بَأْسَ بِالتَّوَسُّلِ لِلاسْتِسْقَاءِ بِالشُّيُوْخِ وَالعُلَمَاءِ
الْمُتَّقِيْنَ، وَقَالَ فِيْ الْمُذَهَّبِ: يَجُوْزُ أَنْ يُسْتَشْفَعَ إِلَى اللهِ بِرَجُلٍ صَالِحٍ، وَقِيْلَ
يُسْتَحَبُّ. وَقَالَ أَحْمَدُ فِيْ
مَنْسَكِهِ الَّذِيْ كَتَبَهُ لِلْمَرُّوْذِيِّ: إِنَّهُ يَتَوَسَّلُ بِالنَّبِيِّ فِيْ دُعَائِهِ –يَعْنِيْ أَنَّ الْمُسْتَسْقِيَ يُسَنُّ لَهُ فِيْ اسْتِسْقَائِهِ أَنْ
يَتَوَسَّلَ بِالنَّبِيِّ- ، وَجَزَمَ بِهِ فِيْ الْمُسْتَوْعَبِ وَغَيْرِهِ"، ثُمَّ قَالَ:"قَالَ إِبْرَاهِيْمُ الْحَرْبِيُّ: الدُّعَاءُ عِنْدَ قَبْرِ مَعْرُوْفٍ الْكَرْخِيِّ التِّرْيَاقُ
الْمُجَرَّبُ" ا.هـ .
“As-Samiri dan
pengarang kitab Talkhish mengatakan: boleh bertawassul untuk meminta hujan kepada
Allah dengan orang-orang saleh dan para ulama yang bertaqwa. Pengarang kitab al
Mudzahhab mengatakan: boleh beristisyfa’ dan bertawassul kepada Allah dengan orang
yang saleh, bahkan menurut suatu pendapat disunnahkan. Imam Ahmad mengatakan dalam
kitab Mana-sik yang beliau tulis untuk al Marrudzi: orang yang berdoa setelah
istisqa’ hendaklah bertawassul dengan Nabi dalam doa-nya. Dalam kitab al Mustaw’ab
dan lainnya hal ini dipastikan sebagai madzhab Ahmad”. Kemudian al Buhuti
mengatakan: “Ibrahim al Harbi mengatakan: berdoa di makam Ma’ruf al Karkhi adalah
obat yang mujarrab (jika berdoa di sana akan dikabulkan oleh Allah)”.[31]
Ibrahim
al Harbi adalah seorang ulama yang semasa dengan Ahmad ibn Hanbal, seorang ahli
hadits bahkan juga seorang mujtahid. Beliau adalah salah seorang yang
direkomendasikan oleh Ahmad ibn Hanbal agar anaknya berguru kepadanya.
4.
Syekh
‘Ala-uddin al Mardawi al Hanbali, salah satu ulama madzhab Hanbali yang
terkemuka, mengatakan dalam kitab al Inshaaf :
وَمِنْهَا يَجُوْزُ التَّوَسُّلُ بِالرَّجُلِ الصَّالِحِ
عَلَى الصَّحِيْحِ مِنَ الْمَذْهَبِ، وَقِيْلَ يُسْتَحَبُّ، قَالَ الإِمَامُ
أَحْمَدُ لِلْمَرُّوْذِيِّ: يَتَوَسَّلُ بِالنَّبِيِّ فِيْ دُعَائِهِ، وَجَزَمَ بِهِ
فِيْ الْمُسْتَوْعَبِ وَغَيْره
“Di antaranya:
boleh bertawassul dengan orang saleh menurut pendapat yang sahih dalam madzhab
(Hanbali), bahkan menurut suatu pendapat dalam madzhab disunnahkan. Imam Ahmad
mengatakan kepada al Marrudzi: hendaklah orang yang beristisqa’ bertawassul
dengan Nabi dalam doanya, dan hal ini dipastikan sebagai madzhab Ahmad dalam
kitab al Mustaw’ab dan lainnya”.[32]
5.
Bahkan
al Imam Ahmad ibnu Hanbal berkomentar tentang Abu Abdillah Shafwan
ibn Sulaym al Madani sebagaimana dinukil oleh al Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam
Syarh al Ihya’:
"قَالَ أَحْمَدُ: هُوَ
يُسْتَسْقَى بِحَدِيْثِهِ وَيَنْزِلُ الْقَطْرُ مِنَ السَّمَاءِ بِذِكْرِهِ،
وَقَالَ مَرَّةً: هُوَ ثِقَةٌ مِنْ خِيَارِ عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ".
“Ahmad mengatakan:
Dia -Shafwan bin Sulaym- adalah orang yang kita memohon hujan kepada Allah dengan
haditsnya dan akan turun hujan dengan menyebut namanya, pada kesempatan lain Ahmad
mengatakan: Beliau adalah orang yang tsiqah –terpercaya- dan termasuk hamba Allah
yang saleh”.[33]
6.
As-Suyuthi
juga menukil perkataan yang sama dalam Thabaqaat al Huffazh dari Imam Ahmad ibn Hanbal:
وَذُكِرَ عِنْدَ أَحْمَدَ فَقَالَ: هَذَا رَجُلٌ
يُسْتَشْفَى بِحَدِيْثِهِ وَيَنْزِلُ القَطْرُ مِنَ السَّمَاءِ بِذِكْرِهِ".
“Suatu ketika
disebut Shafwan bin Sulaym di depan Ahmad, maka Ahmad mengatakan: Ini adalah orang
yang kita memohon kesembuhan kepada Allah dengan haditsnya dan akan turun hujan
dengan menyebut namanya”.[34]
7.
Abdullah
ibn al Imam Ahmad menukil dari ayahnya; Ahmad ibn Hanbal dalam kitab al ‘Ilal
Wa Ma’rifah ar-Rijal:
قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: قَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ:
رَجُلاَنِ صَالِحَانِ يُسْتَسْقَى بِهِمَا ابْنُ عَجْلاَنَ وَيَزِيْدُ بْنُ
يَزِيْدَ بْنِ جَابِرٍ".
“Ahmad ibn Hanbal
mengatakan: Sufyan ibnu ‘Uyaynah mengatakan: ada dua orang saleh yang kita
memohon hujan kepada Allah dengan menyebut namanya: Ibnu ‘Ajlaan dan Yazid bin
Yazid bin Jabir”.[35]
Jadi
disimpulkan bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal dan madzhab Hanbali –sebagaimana madzhab-madzhab
yang lain- membolehkan tawassul dengan Nabi dan orang-orang saleh yang sudah
meninggal, bahkan disunnahkan. Ini berbeda dengan perkataan sebagian orang yang
mengaku sebagai pengikut madzhab Hanbali lalu mengatakan bahwa tawassul adalah
haram, bahkan syirik dan ulama salaf tidak pernah membolehkan atau melakukan tawassul.
Sungguh aneh, ada orang yang mengaku sebagai pengikut Imam Ahmad dan madzhab Hanbali
lalu menjadikan sesuatu yang diperbolehkan oleh imam madzhab dan ulama madzhab
sebagai perkara haram bahkan syirik ?!.
Lihatlah
al Imam Abu al Wafa ibnu ‘Aqil (W. 503 H) yang merupakan ulama besar madzhab Hanbali
dan salah satu Ahl at-Takhrij (Ashab al Wujuh) dalam madzhab Hanbali.
Beliau sangat menekankan untuk berziarah ke makam Rasulullah dan bertawassul
dengannya dalam kitab beliau at-Tadzkirah. Ini adalah salah satu bukti bahwa
orang-orang yang mengaku mengikuti madzhab Hanbali lalu mengharamkan tawassul dan
memusyrikkan pelakunya sebetulnya mereka adalah orang-orang yang menyempal dari
madzhab Hanbali dan syudzudz ini telah menjadi kebiasaan mereka baik dalam
masalah-masalah ushul maupun furuu’. Alangkah jauhnya mereka dari
Imam Ahmad dan madzhab Hanbali ?!!.
Para ahli hadits (Hafizh) telah menyatakan
bahwa hadits ini shahih, baik yang marfu' maupun kadar yang mawquf (peristiwa
di masa sayyidina 'Utsman), di antaranya al Hafizh ath-Thabarani.
عَنْ
عُثْمَانَ
بْنِ
حُنَيْفٍ :أَنَّ رَجُلًا ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَنِي قَالَ إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قَالَ فَادْعُهْ قَالَ فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ
Dari ustman bin hanif sesungguhnya seseorang yang
sakit mata datang kepada nabi saw lalu berkata, berdoalah kepada Allah agar Dia
menyembuhkanku, Nabi menjawab, jika kamu mau, maka aku akan berdoa (untukmu) dan
jika kamu ingin, maka bersabarlah dan itu lebih baik bagimu, lalu dia berkata,
berdoalah. Ustman Bin Hanif berkata, lalu Nabi memerintahkannya untuk berwudhu
dengan baik lalu berdoa dengan doa ini, ya Allah sesungguhnya hamba mohon
kepadaMu dan hamba menghadap kepadaMu dengan NabiMu Muhammad Nabi pembawa rahmat,
sesungguhnya aku menghadap kepada Tuhanku dengan engkau ya RAsuulullah supaya hajatku
ini dikabulkan, ya Alloh jadikanlah ia pemberi syafaat hajatku untukku[36].(Shahih
Ibn Khuzaimah hadits no.1219, Mustadrak ala shahihain hadits no.1180 dan ia
berkata hadits ini shahih dg syarat shahihain Imam Bukhari dan Muslim). Hadist
ini dishahihkan oleh Al hakim, Ibnu Khuzaimah dan disetujui oleh adz Dzahabi.
قَالَ : وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ عَلَى الطَّعَامِ , قَالَ : أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِي زَمَنِ عُمَرَ , فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم , فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ , اسْتَسْقِ لأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوا , فَأَتَى الرَّجُلَ فِي الْمَنَامِ فَقِيلَ لَهُ : ائْتِ عُمَرَ فَأَقْرِئْهُ السَّلامَ , وَأَخْبِرْهُ أَنَّكُمْ مُسْتَقِيمُونَ وَقُلْ لَهُ : عَلَيْك الْكَيْسُ , عَلَيْك الْكَيْسُ , فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَبَكَى عُمَرُ , ثُمَّ قَالَ : يَا رَبِّ لاَ آلُو إلاَّ مَا عَجَزْت عَنْهُ.
Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah
dari ‘AmAsy dari Abi Shalih dari Malik Ad Daar dan ia seorang bendahara gudang
makanan pada pemerintahan Umar. Ia berkata “Orang-orang mengalami kemarau panjang
saat pemerintahan Umar. Kemudian seorang laki-laki datang ke makam Nabi SAW dan
berkata “Ya RAsulullah SAW mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah
binAsa”. Kemudian orang tersebut mimpi bertemu RAsulullah SAW dan dikatakan kepadanya
“datanglah kepada Umar dan ucapkan salam untuknya beritahukan kepadanya mereka
semua akan diturunkan hujan. Katakanlah kepadanya “bersikaplah bijaksana,
bersikaplah bijaksana”. Maka laki-laki tersebut menemui Umar dan menceritakan
kepadanya akan hal itu. Kemudian Umar berkata “Ya Tuhanku aku tidak melalaikan
urusan umat ini kecuali apa yang aku tidak mampu melakukannya
Berikut
ini akan dikemukakan dalil-dalil tentang disyari’atkannya tawassul secara lebih
detail :
- Hadits tentang orang buta yang datang kepada Rasulullah yang telah disebutkan. Hadits tersebut diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir dan al Mu’jam ash-Shaghir dan beliau mensahihkannya. Juga diriwayatkan oleh at-Turmudzi, al Hakim dan lainnya. Hadits ini disahihkan oleh al Hafizh at-Turmudzi, Ibnu Khuzaimah, ath-Thabarani, al Hakim, al Bayhaqi, al Mundziri, an-Nawawi, adz-Dzahabi, Ibnu Hajar, al Haytsami, al Hafizh Ibn al Jazari, as-Suyuthi dan para ulama yang lain.
Jika
ada orang yang mengatakan bahwa makna:
"اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ
بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ
بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ".
Adalah:
"اَللّهُمَّ
إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِدُعَاءِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ
نَبِيِّ الرَّحْمَةِ ...".
Dengan
dalil perkataan Nabi di awal hadits:
"إِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ".
“Jika
engkau mau engkau bisa bersabar, dan jika engkau mau aku akan mendoakan kamu”.
Dan itu artinya orang tersebut memohon doa
kepada Nabi ketika beliau masih hidup dan itu jelas boleh, sedangkan yang dilakukan
oleh orang yang bertawassul adalah memohon didoakan dari orang yang sudah mati atau
hidup tapi tidak di hadapannya dan hal ini tidak diperbolehkan
"فَفَعَلَ الرَّجُلُ مَا
قَالَ، فَوَ اللهِ مَا تَفَرَّقْنَا وَلاَ طَالَ بِنَا الْمَجْلِسُ حَتَّى دَخَلَ
عَلَيْنَا الرَّجُلُ وَقَدْ أَبْصَرَ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِهِ ضُرٌّ
قَطُّ".
“Orang
buta tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah, dan demi Allah kita belum lama
berpisah dan belum lama majelis Rasulullah berlangsung hingga orang buta
tersebut kembali datang ke majelis dan telah bisa melihat seakan sebelumnya tidak
pernah terkena kebutaan sama sekali”.
Dari penegasan sahabat ini diketahui bahwa
maksud perkataan Nabi di awal hadits adalah bahwa beliau akan mengajarkan doa
kepada orang buta tersebut, bukan mendoakannya secara langsung:
"... وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ
لَكَ" أَيْ عَلَّمْتُكَ دُعَاءً تَدْعُوْ بِهِ.
Jadi pemaknaan yang dilakukan dengan taqdir
(بِنَبِيِّنَا: بِدُعَاءِ
نَبِيِّنَا )
itu tidak benar karena memang tidak ada dalilnya. Jadi bertawassul dengan Nida’
sekalipun tidak di hadapan seorang Nabi atau wali adalah boleh seperti jelas-jelas
disebutkan dalam hadits tersebut tanpa ditakwil-takwil dan tanpa perlu taqdir
kalimat tertentu.
Hadits
ini menunjukkan dibolehkannya bertawassul dengan para nabi dan wali yang masih
hidup tanpa berada di hadapan mereka. Karena sahabat yang buta tersebut tidak
bertawassul di hadapan Nabi, melainkan pergi ke tempat wudlu, lalu berwudlu,
sholat dan berdoa dengan lafazh yang diajarkan oleh Nabi, kemudian dia mendatangi
Nabi dan Nabi belum meninggalkan majelisnya seperti disebutkan oleh perawi hadits
tersebut. Hadits ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan para nabi dan
wali, baik ketika masih hidup maupun sudah meninggal seperti diajarkan oleh perawi
hadits tersebut, yaitu sahabat Utsman ibn Hunayf kepada tamu sayyidina Utsman.
Jadi hadits yang sahih ini membantah perkataan sebagian orang bahwa bertawassul
hanya boleh dengan al Hayy al Hadlir (Nabi atau Wali yang masih hidup dan
tawassul dilakukan di hadapannya) dengan meminta doanya.
2.
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya dari Abu Sa'id al
Khudri –semoga Allah meridlainya-, ia berkata, Rasulullah bersabda :
"مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ إِلَى
الصَّلاَةِ فَقَالَ : اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ
عَلَيْكَ وَبِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا فَإِنِّيْ لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًا وَلاَ
بَطَرًا وَلاَ رِيآءً وَلاَ سُمْعَةً خَرَجْتُ اتِّقَاءَ سَخَطِكَ وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ
فَأَسْأَلُكَ أَنْ تُنْقِذَنِـيْ مِنَ النَّارِ وَأَنْ تَغْفِرَ لِيْ ذُنُوْبِيْ
إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبِ إِلاَّ أَنْتَ ، أَقْبَلَ اللهُ عَلَيْهِ
بِوَجْهِهِ وَاسْتَغْفَرَ لَهُ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ" (رَوَاهُ أحْمدُ في
الْمُسنَد والطّبَرَانِيّ في الدعاء وابن السُّنِّيِّ في عمل اليوم والليلة
والبيهقيّ في الدعوات الكبير وغيرهم، صحّحه ابن خزيمة وحسَّنَه الحافظ ابن حجر
والحافظ أبو الحسن الْمَقدِسيّ والحافظ العراقيّ والحافظ الدمياطيّ وغيرهم).
"Barangsiapa
yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) kemudian ia berdo'a:
"Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan derajat orang-orang yang
saleh yang berdo'a kepada-Mu (baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal)
dan dengan derajat langkah-langkahku ketika berjalan ini, sesungguhnya aku keluar
rumah bukan untuk menunjukkan sikap angkuh dan sombong, juga bukan karena riya’
dan sum'ah, aku keluar rumah untuk menjauhi murka-Mu dan mencari ridla-Mu, maka
aku memohon kepada-Mu: selamatkanlah aku dari api neraka dan ampunilah dosa-dosaku,
sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, maka Allah akan
meridlainya dan tujuh puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya" [37](H.R. Ahmad
dalam "al Musnad", ath-Thabarani dalam "ad-Du'a",
Ibn as-Sunni dalam" 'Amal al Yaum wa al-laylah", al Bayhaqi dalam
Kitab "ad-Da'awat al Kabir" dan selain mereka, sanad hadits
ini disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan dihasankan oleh al Hafizh
Ibn Hajar, al Hafizh Abu al Hasan al Maqdisi, al Hafizh al 'Iraqi, al Hafizh ad-Dimyathi
dan lain-lain).
Al
Hafizh al-Lughawi Murtadla az-Zabidi mengatakan dalam Syarh
al Ihya' (5/89):
"وَالْمُرَادُ
بِالْحَقِّ فِيْ الْمَوْضِعَيْنِ الْجَاهُ وَالْحُرْمَةُ".
"Maksud
dari kata Haqq di dua tempat (dalam hadits tersebut) adalah
kedudukan atau derajat yang tinggi dan kemuliaan".[38]
Hadits
ini menunjukkan dibolehkannya bertawassul dengan para shalihin, baik yang masih
hidup maupun yang sudah meninggal. Karena jelas tawassul dilakukan tiada lain
dengan orang-orang saleh, tidak mungkin bertawassul dengan para pendosa dan ahli
maksiat. Dalam hadits ini pula Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam mengajarkan
untuk menggabungkan antara tawassul dengan adz-Dzawaat al Faadlilah
(seorang nabi atau wali dan orang-orang saleh) dan tawassul dengan amal saleh,
beliau tidak membedakan antara keduanya, tawassul jenis pertama hukumnya boleh
dan yang kedua juga boleh. Dalam hadits ini tawassul dengan adz-Dzawaat al Faadlilah
ada pada kata (بِحَقِّ
السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ )
Imam
Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dengan sanad yang hasan sebagaimana
dikatakan oleh al Hafizh Ibnu Hajar bahwa al Harits ibn Hassan al Bakri berkata
kepada Rasulullah:
أَعُوْذُ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ أَنْ أَكُوْنَ كَوَافِدِ عَادٍ
“Aku
berlindung kepada Allah dan Rasul-Nya dari menjadi seperti utusan kaum ‘Aad
(utusan yang yustru menghancurkan kaum yang mengutusnya)” (H.R. Ahmad)[39]
Hadits ini menunjukkan dibolehkannya bertawassul
dan beristighatsah meskipun dengan lafazh al Isti’adzah. Dalam hadits
ini al Harits ibn Hassan al Bakri memohon perlindungan (beristi’adzah)
kepada Allah karena Allah adalah yang dimohoni perlindungan secara hakiki (Musta’adz
bihi haqiqi), sedangkan ketika ia memohon perlindungan kepada Rasulullah karena
Rasulullah adalah yang dimohoni perlindungan dengan makna sebab (Musta’adz
bihi ‘ala ma’na annahu sabab). Rasulullah tidak mengkafirkannya, tidak
memusyrikkannya bahkan tidak mengingkarinya sama sekali, padahal kita tahu bahwa
Rasulullah tidak akan pernah mendiamkan terjadinya perkara mungkar sekecil apapun.
Dalam hadits ini Rasulullah tidak mengatakan: “Engkau telah musyrik karena mengatakan:
(وَرَسُوْلِهِ), karena engkau telah
beristi’adzah kepadaku”.
Orang-orang
yang menganggap tawassul dengan Nabi sebagai perkara syirik, apa yang akan
mereka katakan tentang Imam Ahmad yang mencantumkan hadits ini dalam Musnad-nya,
apakah mereka menganggap Ahmad menyetujui perbuatan syirik atau apa yang akan
mereka katakan ?!!.
Al
Bazzar meriwayatkan hadits Rasulullah:
"حَيَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ وَمَمَاتِيْ خَيْرٌ
لَكُمْ، تُحْدِثُوْنَ وَيُحْدَثُ لَكُمْ، وَوَفَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ تُعْرَضُ
عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ، فَمَا رَأَيْتُ مِنْ خَيْرٍ حَمِدْتُ اللهَ عَلَيْهِ وَمَا
رَأَيْتُ مِنْ شَرٍّ اسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ" رواه البزّار ورجاله رجال الصحيح
“Hidupku
adalah kebaikan bagi kalian dan matiku adalah kebaikan bagi kalian, ketika aku
hidup kalian melakukan banyak hal lalu dijelaskan hukumnya bagi kalian melalui aku.
Matiku juga kebaikan bagi kalian, diberitahukan kepadaku amal perbuatan kalian,
jika aku melihat amal kalian baik maka aku memuji Allah karenanya dan jika aku
melihat ada amal kalian yang buruk aku memohonkan ampun untuk kalian kepada Allah”
(H.R. al Bazzar dan para perawinya adalah para perawi sahih)
Hadits ini disahihkan oleh al Hafizh al ‘Iraqi,
al Haytsami, al Qasthallani, as-Suyuthi dan lainnya.
Hadits ini menunjukkan bahwa meskipun sudah
meninggal Rasulullah bisa mendoakan atau memohonkan ampun kepada Allah untuk
ummatnya. Oleh karenanya diperbolehkan bertawassul dengannya, memohon didoakan
olehnya meskipun beliau sudah meninggal.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
beberapa uraian yang telah penulis uraikan di atas dapat penulis simpulkan :
1. Tawassul adalah mengambil sarana/wasilah
agar do’a atau ibadahnya dapat lebih diterima dan dikabulkan. dalam istilah syara’
yang di maksud dengan tawassul adalah :
طَلَبُ حُصُوْلِ مَنْفَعَةٍ أَوْ انْدِفَاعِ مَضَرَّةٍ مِنَ
اللهِ بِذِكْرِ اسْمِ نَبِيٍّ أَوْ وَلِيٍّ إِكْرَامًا
لِلْمُتَوَسَّلِ بِهِ".
“Memohon
datangnya manfa’at (kebaikan) atau dihindarkan dari mara bahaya (keburukan)
dari Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram)
keduanya”.[40]
2.
Adapun
tawassul ada tiga macam: tawassul sunnah, tawassul bid’ah, dan tawassul syirik.
a.
Tawassul
Sunnah di antaranya :
1) Bertawassul dengan menyebut Asma’ul husna
2) Bertawassul dengan sifat-sifat Allah
Ta’ala.
3) Bertawassul dengan amal shalih
4) Bertawassul dengan keimanannya kepada
Allah Ta’ala.
b.
Tawassul
Bid’ah
1)
Tawassul
dengan kedudukan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
2)
Bertawassul
dengan cara menyebutkan nama atau kemuliaan orang shalih ketika berdo’a kepada
Allah Ta’ala.
3)
Bertawassul
dengan cara beribadah kepada Allah Ta’ala di sisi kubur orang shalih.
c.
Tawassul
Syirik
3.
Adapun hukum daripada tawassul di atas hanya tawassul yang sunah
yang hukumnya di sepakati kebolehannya oleh para ulama yang berdasar pada al
qur’an dan hadits
B.
Saran-Saran
Tawassul merupakan jalan untuk mempermudah di kabulkannya suatu
permintaan sang hamba oleh karena itu Melalui risalah yang sederhana ini,
penulis merasa perlu memberikan saran-saran walaupun sedikit, tetapi semoga
bermanfaat bagi diri penulis pada khususnya maupun bagi orang lain.
Di antara saran-saran penulis diantaranya :
1.
Janganlah mudah terpengaruh dengan ucapan-ucapan seseorang yang
mudah mengatakan kata-kata bid’ah kepada orang yang bertawassul karena telah
jelas dan gamblang bahwa tawassul merupakan Amaliah orang muslim yang terdapat
dalilnya baik dalam al Qur’an dan hadits.
2.
Bertawasullah kepada Rosullullah apabila hendak
berdo’a kepada Allah agar seluruh permohonan kita mudah untuk di Kabul.
C.
PENUTUP
Dengan selesainya risalah ini, penulis tak lupa memanjatkan puji dan
syukur kepada Allah SWT karena hanya dengan pertolongan darinyalah penulis dapat
menyelesaikan penulisan risalah ini. Dan mudah-mudahan risalah yang telah
penulis selesaikan ini diberikan kemanfaatan sehingga mendapat nilai pahala.
Akan tetapi dengan selesainya risalah ini pula tentunya banyak sekali
kekurangan yang dapat terlihan dan nampak pada risalah ini karena semua hal yang
telah sempurna pasti akan nampaklah kekurangannya.
karena itu penulis sangat berharap khususnya kepada pembimbing dan
kepada semua pmbaca untuk memberiakan kritik dan saran, sehingga risalah ini
mendapatkan penambahan yang nantinya dapat menuai hasil yang sempurna, karena
penulis menyadari bahwa penulisan risalah ini masih banyak sekali kekurangan di
dalamnya. Hal ini di sebabkan karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan
penulis yang tidak pernah dari kekurangan dan kesalahan.
Penulis berharap dengan perantaraan risalah ini akan memberikan manfaat
bagi penulis sendiri pada khususnya dan para pembaca pada umumnya, dengan mengaflikasikan
isi dari risalah ini dalam membina keluarga dan anak.
Penulis
Agus Priyono
DAFTAR PUSTAKA
Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al Qur’an, Al Qur’an Dan
Terjemahnya, ( Jakarta : Pustaka Al Kautsar ), 2009
Tri Rama, Kamus Besar BahAsa Inndonesia,
(Surabaya : Karya Agung)
Balai Pustaka, kamus besar bahAsa
Indonesia, (Jakarta : balai pustaka, 1990)
Munawwir Warson Achmad, Kamus Al
Munawwir, (Surabaya : Pustaka Progressif, 1997), cet. IV
Narbuka Kholid, methodologi penelitian sosial (semarang: fakultAs tarbiyah,IAIN wali songo
1989)
draws Jemes, kamus biologis (jakarta bina aksara,1988) cet II hal
488
Atsir Ibnul, An-Nihayah
fil Gharibil Hadiit wal Atsar (Kairo : Daar Al Hadits) Juz V
At Thobari Ibnu Jarir Imam, Tafsir Ath-Thabari,( Bairut : Daar Al Kutub Al Asriyah ), Juz. IV
Imam Ibnu Katsir, Tafsir
Ibnu Katsir, ( Bairut : Daar Al Kutub Al Asriyah ),
Juz III,
Hafizh At Thabarani, Al Mu'jam Al Kabir dan Al Mu'jam
Ash-Shaghir, ( Kairo : Maktabah Al ‘Ilmiyah ),
Syaikh Muhammad An Nawawi Al Jawi, Marrah
Lubaid Tafsir An Nawawi, (Semarang : Thoha Putra ), Juz I
Habib ‘Ali bin Hasan Al Attas, khulashotul
magnam Wa bughyatul Muhtam, ( benda : pustaka Al Hikmah )
Musnad Ahmad, ( kairo : Daar Al Hadits ), juz. IV, hadits ke 3712
Imam Al Bukhori, Shohih Al Bukhori, ( Beirut: Dâr Ibnu Kaşir
al-Yamâmah ), juz. II,
Imam Muslim, Shohih Muslim, ( Beirut: Dâr Ibnu Kaşir al-Yamâmah ), juz, II
Ibnu Muflih al
Hanbali, Al Furuu’, ( Bairut :
Darul Kitab Ilmiyah ), juz. 1
Al
Imam al Buhuti al Hanbali, Kasysyaf al Qina’,( Bairut : Darul Kutub Al
Ilmiyah ), juz 2
Syekh ‘Ala-uddin al Mardawi al
Hanbali, Al Inshaaf (Bairut : Darul Kutub Al Ilmiyah (, juz 2
Al Hafizh Murtadla az-Zabidi, Syarh al Ihya’, ( makkah : darrul ilmi ), juz. 10
Imam As-Suyuthi, Thabaqaat al
Huffazh, ( kairo : daar Al Hadits), hal. 61
Abdullah ibn al Imam Ahmad Al
‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal, ( kairo : Daar Al Hadits ), juz. 1
Al Hafizh Al-Lughawi Murtadla az-Zabidi, Syarh al Ihya, juz. 5,
Imam Ibnu Katsir, Tafsir
Ibnu Katsir, ( Bairut : Daar Al Kutub Al Asriyah ),
Juz III,
DAFTAR
RIWAYAT HIDUP
Nama : Agus Priyono
Tempat, Tanggal Lahir : Banyumas, 17 Agustus 1986
Alamat : Ds. Jatisaba Kec. Cilongok Kab. Banyumas
Orang Tua
Ayah :
Miardi
Ibu :
Siwen
Pendidikan :
MI Jatisaba Lulus 1999
SMP N 2
Purwojati Lulus Tahun 2002
Paket C setara SLTA di Banyuwangi Lulus Tahun 2006
Tahun
2008 tercatat sebagi mahasiswa Ma’had ‘Aly Al Hikmah 02 Benda sampai tahun 2010
[1] Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al Qur’an, Al Qur’an Dan Terjemahnya,
( Jakarta : Pustaka Al Kautsar ), 2009, hal. 331
[5] Achmad Warson Munawwir, Kamus Al Munawwir, (Surabaya : Pustaka
Progressif, 1997), cet. IV, hal. 1562
[6] Kifayatul adzkiya,
hal 25-32
[7] Kholid nuar
buka, methodologi penelitian sosial (semarang: fakultAs tarbiyah,IAIN wali songo
1989) hal.137
[8] Jemes draws, kamus
biologis (jakarta bina aksara,1988) cet II hal 488
[9] Tim penyusun kamus,loc.cit,
hal. 197
[11] Imam Ibnu Jarir At Thobari, Tafsir Ath-Thabari,( Bairut : Daar Al Kutub Al Asriyah ), Juz. IV, hal. 567
[13] Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al Qur’an, Al Qur’an Dan Terjemahnya,
( Jakarta : Pustaka Al Kautsar ), 2009, Hal. 113
[14]Of cit, hal. 157
[16] Al Hafizh At
Thabarani, Al Mu'jam Al Kabir dan Al Mu'jam Ash-Shaghir, ( Kairo : Maktabah Al ‘Ilmiyah ), hal.
104/203
[18] Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al Qur’an, Al Qur’an Dan Terjemahnya,
( Jakarta : Pustaka Al Kautsar ), 2009, Hal. 113
[19] Syaikh Muhammad An Nawawi Al Jawi, Marrah Lubaid Tafsir An Nawawi, (Semarang
: Thoha Putra ), Juz I, Hal 202
[21] Habib ‘Ali bin Hasan Al Attas, khulashotul magnam Wa bughyatul Muhtam, (
benda : pustaka Al Hikmah ),hal. 10
[31] Al Imam al Buhuti al Hanbali, Kasysyaf al Qina’,( Bairut :
Darul Kutub Al Ilmiyah ), juz 2, hal. 69
[32] Syekh ‘Ala-uddin al Mardawi al Hanbali, Al Inshaaf (Bairut
: Darul Kutub Al Ilmiyah (, juz 2, hal. 456
[35] Abdullah ibn al Imam Ahmad Al ‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal, (
kairo : Daar Al Hadits ), juz. 1, hal. 163-164
Solusi yang tepat jangan anda putus asah... KI .angen jallo akan membantu anda semua dengan Angka ritual/GHOIB: butuh angka togel 2D 3D 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin 100% jebol Apabila ada waktu silahkan Hub: KI RONGGENG DI NO: [[[ 085-283 790 444 ]]] ANGKA GHOIB: SINGAPUR 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB: HONGKONG 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB; TEXAS ANGKA GHOIB; TOTO/ MAGNUM 4D/5D/6D/ ANGKA GHOIB; LAOS/JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 20 X TERBUKTI
BalasHapusTRIM’S ROO,MX SOBAT
Solusi yang tepat jangan anda putus asah... KI .angen jallo akan membantu anda semua dengan Angka ritual/GHOIB: butuh angka togel 2D 3D 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin 100% jebol Apabila ada waktu silahkan Hub: KI RONGGENG DI NO: [[[ 085-283 790 444 ]]] ANGKA GHOIB: SINGAPUR 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB: HONGKONG 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB; TEXAS ANGKA GHOIB; TOTO/ MAGNUM 4D/5D/6D/ ANGKA GHOIB; LAOS/JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 20 X TERBUKTI
TRIM’S ROO,MX SOBAT
Solusi yang tepat jangan anda putus asah... KI .angen jallo akan membantu anda semua dengan Angka ritual/GHOIB: butuh angka togel 2D 3D 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin 100% jebol Apabila ada waktu silahkan Hub: KI RONGGENG DI NO: [[[ 085-283 790 444 ]]] ANGKA GHOIB: SINGAPUR 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB: HONGKONG 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB; TEXAS ANGKA GHOIB; TOTO/ MAGNUM 4D/5D/6D/ ANGKA GHOIB; LAOS/JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 20 X TERBUKTI
TRIM’S ROO,MX SOBAT
Solusi yang tepat jangan anda putus asah... KI .angen jallo akan membantu anda semua dengan Angka ritual/GHOIB: butuh angka togel 2D 3D 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin 100% jebol Apabila ada waktu silahkan Hub: KI RONGGENG DI NO: [[[ 085-283 790 444 ]]] ANGKA GHOIB: SINGAPUR 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB: HONGKONG 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB; TEXAS ANGKA GHOIB; TOTO/ MAGNUM 4D/5D/6D/ ANGKA GHOIB; LAOS/JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 20 X TERBUKTI
TRIM’S ROO,MX SOBAT
Solusi yang tepat jangan anda putus asah... KI .angen jallo akan membantu anda semua dengan Angka ritual/GHOIB: butuh angka togel 2D 3D 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin 100% jebol Apabila ada waktu silahkan Hub: KI RONGGENG DI NO: [[[ 085-283 790 444 ]]] ANGKA GHOIB: SINGAPUR 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB: HONGKONG 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB; TEXAS ANGKA GHOIB; TOTO/ MAGNUM 4D/5D/6D/ ANGKA GHOIB; LAOS/JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 20 X TERBUKTI
TRIM’S ROO,MX SOBAT
Solusi yang tepat jangan anda putus asah... KI .angen jallo akan membantu anda semua dengan Angka ritual/GHOIB: butuh angka togel 2D 3D 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin 100% jebol Apabila ada waktu silahkan Hub: KI RONGGENG DI NO: [[[ 085-283 790 444 ]]] ANGKA GHOIB: SINGAPUR 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB: HONGKONG 2D/3D/4D/ ANGKA GHOIB; TEXAS ANGKA GHOIB; TOTO/ MAGNUM 4D/5D/6D/ ANGKA GHOIB; LAOS/JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 20 X TERBUKTI
TRIM’S ROO,MX SOBAT